عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
الْمِنْبَرِ: مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ
النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ
وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ)رواه أحمد و أبو داوود)
Dari An Nu’man bin Basyir berkata , Nabi r bersabda di atas
mimbar, “ Barang siapa tidak mensyukuri
nikmat yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri nikmat yang banyak,
dan barang siapa tidak berterimakasih
kepada manusia maka dia tidak akan mensyukuri nikmat Allah, memperbincangkan
nikmat Allah adalah bentuk kesyukuran , jama’ah adalah rahmat dan perpecahan
adalah adzab.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Al Khoththobi berkata;
“Sesungguhnya hadits ini mengandung dua pandangan. Pertama, sesunguhnya siapa
yang terkenal tabiat dan kebiasannya tidak berterima kasih kepada manusia maka
dia juga terkenal mempunyai tabiat dan kebiasan tidak mensyukuri nikmat Allah.
Kedua , sesungguhnya Allah U tidak akan menerima syukur seorang hamba atas nikmat
yang diberikan kepadanya, kalau dia tidak bisa berterima kasih kepada manusia atas kebaikan yang dia terima
dari orang lain, karena dua hal itu saling berkesinambungan”.
Memang, sikap kita terhadap sesama manusia menunjukkan sikap kita
kepada Allah U. Kalau kita tidak mensyukuri nikmat Allah yang
sedikit, mana mungkin kita akan
mensyukuri nikmatNya yang banyak.
Hadits ini juga menganjurkan
kita untuk memperbincangkan nikmat-nikmat Allah. Karena hal itu menunjukkan rasa
syukur kita kepada Allah U. Seperti dalam firman Allah U:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“Dan
terhadap nikmat Rabbmu , hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”.
(QS.Adl Dluha)
Maksud nikmat disini ada dua pendapat:
Pertama, Maqotil berkata,
“Yakni mensyukuri dengan cara menyebut nikmat-nikmat seperti: terpenuhinya
hajat, mendapat hidayah setelah tersesat ,dan kekayaan setelah kefaqiran.
Ada juga pendapat bahwa
maksudnya adalah menyebutkan kebaikan orang yang telah berbuat baik kepadanya
dengan cara, menyembunyikan aibnya, dan menganggapnya sebagai anggota
keluarganya walaupun dia bukan termasuk keluarganya.
Kedua, maksudnya adalah da’wah
ilallah , menyampaikan risalahNya, dan mengajarkannya kepada umat.
Mujahid berkata: “itu adalah
nubuwah”.
Al Kalbi berkata: “Nikmat itu
adalah Al Qur’an, yang diperintahkan untuk membacanya”.
Yang benar dari maksud nikmat
disini adalah mencakup kedua pendapat tadi. Karena keduanya adalah nikmat yang
perlu kita syukuri, memperbicangkannya, dan mewujudkan rasa syukur itu, baik
dengan hati, lisan , ataupun perbuatan. Wallahu a’lam bishshowab.
Maroji’:
Ø Musnad Ahmad
Ø Madarijus salikin
Ø Tuhfatul ahwadzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar