Sabtu, 23 November 2013

Tetap Syukur , Walau Belum Mujur




عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ: مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ)رواه أحمد و أبو داوود)
Dari An Nu’man bin Basyir berkata , Nabi r bersabda di atas mimbar, “ Barang siapa tidak mensyukuri  nikmat yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri nikmat yang banyak, dan barang siapa tidak  berterimakasih kepada manusia maka dia tidak akan mensyukuri nikmat Allah, memperbincangkan nikmat Allah adalah bentuk kesyukuran , jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Al Khoththobi berkata; “Sesungguhnya hadits ini mengandung dua pandangan. Pertama, sesunguhnya siapa yang terkenal tabiat dan kebiasannya tidak berterima kasih kepada manusia maka dia juga terkenal mempunyai tabiat dan kebiasan tidak mensyukuri nikmat Allah.
 Kedua , sesungguhnya Allah U tidak akan menerima syukur seorang hamba atas nikmat yang diberikan kepadanya, kalau dia tidak bisa berterima kasih kepada        manusia atas kebaikan yang dia terima dari orang lain, karena dua hal itu saling berkesinambungan”.
Memang, sikap kita terhadap sesama manusia menunjukkan sikap kita kepada Allah U. Kalau kita tidak mensyukuri nikmat Allah yang sedikit, mana mungkin kita akan  mensyukuri  nikmatNya yang banyak.
Hadits ini juga menganjurkan kita untuk memperbincangkan nikmat-nikmat Allah. Karena hal itu menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah U. Seperti dalam firman Allah U:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“Dan terhadap nikmat Rabbmu , hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”. (QS.Adl Dluha)
Maksud nikmat disini ada dua pendapat:
Pertama, Maqotil berkata, “Yakni mensyukuri dengan cara menyebut nikmat-nikmat seperti: terpenuhinya hajat, mendapat hidayah setelah tersesat ,dan kekayaan setelah kefaqiran.
Ada juga pendapat bahwa maksudnya adalah menyebutkan kebaikan orang yang telah berbuat baik kepadanya dengan cara, menyembunyikan aibnya, dan menganggapnya sebagai anggota keluarganya walaupun dia bukan termasuk keluarganya.
Kedua, maksudnya adalah da’wah ilallah , menyampaikan risalahNya, dan mengajarkannya kepada umat.
Mujahid berkata: “itu adalah nubuwah”.
Al Kalbi berkata: “Nikmat itu adalah Al Qur’an, yang diperintahkan untuk membacanya”.
Yang benar dari maksud nikmat disini adalah mencakup kedua pendapat tadi. Karena keduanya adalah nikmat yang perlu kita syukuri, memperbicangkannya, dan mewujudkan rasa syukur itu, baik dengan hati, lisan , ataupun perbuatan. Wallahu a’lam bishshowab.
Maroji’:
Ø  Musnad Ahmad
Ø  Madarijus salikin
Ø  Tuhfatul ahwadzi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar