“Umat Islam yang tidak ikut
merayakan hari Natal berarti tidak menghormati Nabi Isa,” cetus seorang
tokoh masyarakat. Menurutnya dalam al-Quran terdapat ayat natal!
Ungkapan tersebut diperkuat oleh pakar komunikasi yang dekat dengan negara Iran. Menurutnya mengucapkan selamat natal, bahkan merayakan natalan, mempunyai dalil dalam al-Qur’an. Pria tengah baya ini menunjuk sebuah ayat yang terdapat dalam surat Maryam.
Ungkapan tersebut diperkuat oleh pakar komunikasi yang dekat dengan negara Iran. Menurutnya mengucapkan selamat natal, bahkan merayakan natalan, mempunyai dalil dalam al-Qur’an. Pria tengah baya ini menunjuk sebuah ayat yang terdapat dalam surat Maryam.
Ayat Natal dan Natalan?
Ayat yang dimaksud tokoh yang pernah
getol menyuarakan paham Syi’ah tersebut adalah ayat 33 dari surat Maryam.
Artinya:“Kesejahteraan
atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari
aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
Kyai yang sangat gusar ketika ditanya selesai atau tidak saat kuliah S-1 dalam bidang bahasa itu mengemukakan bahwa wulidtu (aku dilahirkan) menunjukkan kata keselamatan saat lahir. Maulid atau lahir kalau dalam bahasa Latin adalah natal. Jadi perayaan natal Yesus (dalam bahasa Arab disebut ‘Isa), imbuhnya, disebutkan dalam al-Qur’an. Kalau bahasa orang umum disebut harlah (hari kelahiran).
Kyai yang sangat gusar ketika ditanya selesai atau tidak saat kuliah S-1 dalam bidang bahasa itu mengemukakan bahwa wulidtu (aku dilahirkan) menunjukkan kata keselamatan saat lahir. Maulid atau lahir kalau dalam bahasa Latin adalah natal. Jadi perayaan natal Yesus (dalam bahasa Arab disebut ‘Isa), imbuhnya, disebutkan dalam al-Qur’an. Kalau bahasa orang umum disebut harlah (hari kelahiran).
Beberapa dekade terakhir memang
berkembang budaya melakukan perayaan natal bersama.Salah satu alasannnya adalah
demi toleransi yang akan menciptakan kerukunan umat beragama. Disamping dengan
begitu mereka merasa telah menghormati Nabi ‘Isa. Bukankah sebagai Muslim harus
mengimani Nabi Isa, kilah mereka.
Pemikiran ini kemudian diusung dan dikembangkan oleh sekelompok anak muda yang bergabung dalam JIL. Dengan dukungan dana yang besar pemikiran tersebut kerap dijajakan lewat seminar dan situs internet. Kelompok yang mengklaim sebagai pengusung pemikiran kritis ini merasa perlu mati-matian untuk melegalkan natalan bagi umat Islam, apalagi sekadar mengucapkan selamat hari Natal. Kritiskah mereka dalam hal ini?
Pemikiran ini kemudian diusung dan dikembangkan oleh sekelompok anak muda yang bergabung dalam JIL. Dengan dukungan dana yang besar pemikiran tersebut kerap dijajakan lewat seminar dan situs internet. Kelompok yang mengklaim sebagai pengusung pemikiran kritis ini merasa perlu mati-matian untuk melegalkan natalan bagi umat Islam, apalagi sekadar mengucapkan selamat hari Natal. Kritiskah mereka dalam hal ini?
Sebelum menginjak pada bahasan lebih
lanjut mungkin perlu ditinjau istilah kata natal. Natal berasal dari bahasa
Latin yang berarti lahir. Secara istilah Natal berarti upacara yang dilakukan
oleh orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Yesus yang mereka
kultuskan sebagai Tuhan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional terbitan Balai Pustaka, Upacara
Natal pengertiannya: memperingati dan menghayati hari kelahiran Yesus Kristus.
Yesus adalah sebutan dalam agama Nasrani dan dalam agama Islam dikenal sebagai
‘Isa. Dalam Islam, ‘Isa ‘alaihis salam diyakini sebagai Nabi yang
menyampaikan Injil.
Disebut dalam al-Quran; Artinya: “Sesungguhnya
aku ini hamba Allah. Ia telah beri kepadaku Kitab dan Ia telah jadikan aku
Nabi.” (Maryam:30)
Betul
memang dalam surat Maryam disebutkan ayat yang berbicara tentang natal, dalam
artian bahasa sebagai kelahiran. Sementara adanya anggapan bahwa ayat tersebut
merupakan ayat natal yang berarti menganjurkan untuk memperingati hari
kelahiran seseorang (adalah merupakan sesuatu yang) terlalu gegabah dan ngawur.
Bukan Sekadar Otak-Atik Bahasa
Tidak bisa dipungkiri bahwa al-
Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab. Orang Arab saja belum tentu pas
dalam memahami isinya, apalagi orang non-Arab. Untuk pas dalam memahami makna
ayat- ayatnya itulah dibutuhkan sebuah tafsir. Tujuan tafsir sendiri membantu
seseorang mengetahui arti, makna, dan maksud sebuah ayat sebagaiman Allah
kehendaki. Karena memang al-Qur’an berasal dari-Nya. Karena disampaikan kepada
manusia melalui lisan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka beliaulah yang paling paham terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan begitu mengambil penafsiran adalah yang selalu merujuk kepada penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memahami tafsir semacam ini tentunya orang (yang) mempelajari ilmu tafsir dengan baik. Mereka tidak cukup berbekal kemampuan berbahasa Arab, namun juga dasar-dasar ilmu tafsir di samping juga ilmu hadits. Tafsir memang bukan sekadar otak-atik bahasa dan kata.
Salah satu mufassir (ulama ahli tafsir) yang terkenal adalah Abu Fida Ismail Ibnu Katsir. Apa komentar beliau tentang ayat ke-33 surat Maryam di muka?
“Merupakan penetapan dari Nabi Isa ‘alaihis salam tentang penghambaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau hanyalah makhluk sebagaimana makhluk Allah yang lain. Beliau hidup lalu mati dan akan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk pada umumnya. Akan tetapi beliau diberikan keselamatan oleh Allah (dari semua kejelekan dan bahaya) pada semua tahapan kehidupan beliau.”1
Dengan begitu mengambil penafsiran adalah yang selalu merujuk kepada penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memahami tafsir semacam ini tentunya orang (yang) mempelajari ilmu tafsir dengan baik. Mereka tidak cukup berbekal kemampuan berbahasa Arab, namun juga dasar-dasar ilmu tafsir di samping juga ilmu hadits. Tafsir memang bukan sekadar otak-atik bahasa dan kata.
Salah satu mufassir (ulama ahli tafsir) yang terkenal adalah Abu Fida Ismail Ibnu Katsir. Apa komentar beliau tentang ayat ke-33 surat Maryam di muka?
“Merupakan penetapan dari Nabi Isa ‘alaihis salam tentang penghambaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau hanyalah makhluk sebagaimana makhluk Allah yang lain. Beliau hidup lalu mati dan akan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk pada umumnya. Akan tetapi beliau diberikan keselamatan oleh Allah (dari semua kejelekan dan bahaya) pada semua tahapan kehidupan beliau.”1
Mengapa Harus Taklid?
Seorang Muslim dalam kondisi
tertentu memang diperbolehkan untuk taklid, tentu taklid kepada ulama. Sudah
terlalu tua sehingga tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan intelektualitas
maupun fisik, untuk memahami dalil yang dijadikan rujukan para ulama, misalnya.
Ironisnya banyak kaum muda Muslim yang justru mentah-mentah taklid kepada orang
kafir. Bukan kepada ulama, sekali lagi kepada orang kafir. Biasanya menyikapi
ulama selalu berlawanan, misalnya ulama mengatakan angka 1 adalah 1, mereka
mengatakan bahwa angka 1 bisa jadi bernilai 2. Giliran ada tokoh agama kafir
mengata- kan bahwa huruf A bisa dibaca B pun mereka menurut 100%, tanpa koreksi
sedikitpun!
Mirip dengan tradisi perayaan natal.
Kalau benar bahwa natal memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam. ‘Isa dalam
pandangan kaum Muslimin berbeda dengan Yesus dalam pandangan mereka. Yesus
mereka anggap sebagai anak Tuhan, dan ini merupakan syirik besar, sementara
‘Isa adalah anak manusia. Akankah kita ikut memperingati kelahiran kesyirikan?!
Begitu mudahkah seorang anak muda Muslim yang berjiwa sehat ikut- ikutan? Kalau
memang natal sekadar memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam sebagai manusia dan
Nabi, sejak kapan para Nabi merayakan ulang tahunnya? Tidak dikenal perayaan
natal Nabi Yahya, yang tersebut dalam surat Maryam ayat 15. Ayatnya mirip hanya
berbeda kata ganti. Catatan Bible juga tidak menyebutkan secuil bukti
adanya perayaan natal di zamannya. Justru sejarah mencatat natal baru dikenal
pada tahun 300-an, sebagai adopsi tradisi budaya syirik Romawi. Tanggal 25
Desember lebih jelas sejarahnya sebagai hari peringatan Dewa Matahari (Sol
Invictus). Muhammad sebagai Nabi terakhirpun tidak pernah memperingati hari
kelahirannya sendiri, natal pun tak pernah ikut apalagi menganjurkan, padahal
natal sudah dikenal di zaman beliau. Kalau seandainya perlu merayakan hari
lahir, pantaskah seorang Muslim yang cerdas memperingati sesuatu yang hari
tanggalnya saja tidak jelas. Berbagai literatur mencatat bahwa ‘Isa lahir di
Palestina dalam kondisi musim panas. Kenapa kini jadi tanggal 25 Desember yang
masuk dalam musim dingin? Masihkah kita menggunakan sedikit akal sehat kita? Kenapa
sebagai Muslim harus mati-matian, hingga memutarbalikkan makna ayat demi
melegalkan perayaan natal bersama? Bahkan rela pasang badan untuk mencarikan
dalil bagi orang-orang yang menyekutukan Allah. Apa yang diperoleh dengan
langkah-langkah tersebut? Yang jelas bukan aliran pahala dari Allah, paling
banter aliran dana dari pihak-pihak tertentu.
Kenapa harus mengorbankan akidah
umat, sekadar untuk mendapatkan sesuatu yang sepele? Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai panutan sejati telah memberi peringatan agar
menjauhi tempat perayaan orang kafir.
“Ada seorang lelaki yang datang
kepada Rasulullah untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan
di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi menanyakan kepadanya (yang artinya);
‘Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang
disembah?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Beliau bertanya; ‘Apakah disana tempat dilaksanakannya
hari raya dari hari raya mereka?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Maka Nabi bersabda;
‘Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam
maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam’.” (HR.
Abu Dawud dengan sanad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim)
Pesan Ulama Kita
Banyak ulama yang berpesan agar umat
Islam tidak terlarut dalam perayaan hari raya orang kafir. Ibnul-Qayyim rahimahullah
menyatakan; “Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri perayaan hari raya kaum
musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak memberikan fatwa. Para
ulama fikih dari madzhab yang empat sudah menegaskan hal itu dalam buku-buku
mereka. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin
al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: “Janganlah
menemui orang- orang musyrik di gereja-gereja mereka pada hari raya mereka.
Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara mereka.” Umar juga pernah
berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada hari raya mereka.” Imam
al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari ‘Abdullah bin Amru Radhiyallahu
‘anhu, beliau pernah berkata; “Barangsiapa lewat di negeri non-Arab,
yang sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru
mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkit- kan bersama mereka di Hari
Kiamat nanti.”2
Dalam kitabnya, “Iqtidla
‘ash-Shirathil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhaabil-Jahim,” Ibnu Taimiyah
menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam
menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa
Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan; “Ijtanibuu
a’daa’allaahi fii ‘idihim.” (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari
besar mereka).
Kaum non-Muslim ketika itu dilarang
oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik
perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma
sahabat dan disepakati jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu,
tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan natal bersama –apalagi
menyiarkan besar-besaran di tengah masyarakat Muslim– adalah tindakan tercela.
Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum
musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada
hari itu sedang turun atas mereka.” Akankah kita menuruti arahan sekelompok
Muslim yang taklid kepada tokoh kafir atau kepada Umar yang betul-betul cerdas
alim dan setia pada Rasulullah dan risalahnya?
Catatan Kaki:
1.
^ Tafsir al-Quranul-Azhim Ibnu Katsir, juz 3, halaman
118, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang Indonesia.
Sumber: