Senin, 24 Maret 2014

Karena Mereka Memang Berbeda



أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)
Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(QS. Az-Zumar:9)
Ayat diatas sebenarnya masih berkaitan  dengan ayat sebelumnya, yang menerangkan tetang orang-orang yang kafir kepada Allah ketika mereka mendapatkan nikmat. Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa ketika mereka ditimpa sebuah kemudhorotan (musibah) maka mereka kembali kepada Allah. Namun ketika mereka mendapat nikmat mereka lupa akan musibah tadi dan mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Maka Allahpun membiarkan mereka bersenang-senang dan menyediakan neraka sebagai tempat kembali mereka. Wal’iyadzubillah.
Sedangkan ayat di atas menjelaskan keadaan orang-orang yang selalu taat beribadah kepada Allah. Ayat diatas mengandung al-istifham al-inkari yaitu pertanyaan yang jawabannya sudah pasti.
Maka makna dari ayat ini, apakah orang-orang kafir yang disebutkan pada ayat sebelumnya lebih beruntung dari pada orang-orang yang selalu taat kepada Allah.
Dan beberapa ciri orang-orang yang taat kepada Allah adalah mereka selalu beribadah kepada Allah ketika malam hari dalam keadaan berdiri maupun sujud. Jadi hal ini menunjukkan beribadah beribadah kepada Allah bisa dengan berbagai keadaan, bisa dengan berdiri, duduk, maupun sujud.
Dalam kitab Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan ada perbedaan pendapat pada kata “ malam hari” Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud malam hari adalah pada sepertiga malam terakhir, dan Imam At-Tsauri berpendapat adalah waktu antara maghrib dan isya’, sedangkan menurut Al-Hasan dan Qotadah waktu malam adalah seluruh waktu malam, awal, tengah, dan akhir malam.
Orang-orang yang taat kepada Allah tadi beribadah disertai dengan rasa takut terhadap adzab akhirat dan mereka selalu mengharap rahmat Allah. hal ini menunjukkan salah satu ciri mereka adalah selalu beribadah dengan desertai rasa khouf dan roja’.
Makna khouf dan roja’ secara bahasa
Dalam kitab Syarh Talaatsatul Ushul karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin dijelaskan bahwa Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu. Syaikh Utsaimin berkata: “roja’ adalah keinginan seseorang  untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…”  .
Makna khouf  dan roja’ secara istilah
Makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya. Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” .
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…”.  Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai. Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah .
Sedangkan pada kata “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Maka terdapat perbedaan pendapat lagi dikalanga ulama’ mufassir.
Dalam tafsir Aisarut Tafaasiir disebutkan bahwa makna dari kalimat itu adalah, apakah sama orang yang mengetahui amalan-amalan yang dicintai dan yang dibenci oleh Allah.
Dalam tafsir Jami’ul Bayaan fi Ta’wiili l Qur’aan disebutkan dua pendapat. Yang pertama adalah, apakah sama orang-orang yang mengetahui pahala bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan orang-orang yang tidak mengetahui hal itu, mereka berjalan di jalan kegelapan dan sesat. Adapun pendapat yang kedua adalah, pendapat Abu Ja’far bahwa apakah sama antara kami yang mengetahui musuh-musuh kami dan orang-orang yang tidak mengetahui musuh-msuh mereka.
Dari tiga pendapat di atas, walaupun dengan tiga pertanyaan yang berbeda, namun jawabannya sama. Yaitu mereka tidaklah sama. Dan hanya oaring-orang yang berakallah yang bisa mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, mereka selalu memikirkan dan mentadabbburi ayat-ayat Allah. Wollahu A’lam bis Showaab.
Maroji’:
Ø  Jaami’ul Bayan fi Ta’wiilil Qur’an, Imam Ath-Thobari
Ø  Aisarut Tafaasiir, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
Ø  Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Muhammad Nasiib Ar-Rifa’i
Ø  Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin