أَمَّنْ
هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو
رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)
Artinya: (Apakah
kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.(QS. Az-Zumar:9)
Ayat diatas sebenarnya masih
berkaitan dengan ayat sebelumnya, yang menerangkan tetang orang-orang
yang kafir kepada Allah ketika mereka mendapatkan nikmat. Pada ayat sebelumnya
dijelaskan bahwa ketika mereka ditimpa sebuah kemudhorotan (musibah) maka
mereka kembali kepada Allah. Namun ketika mereka mendapat nikmat mereka lupa
akan musibah tadi dan mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah. Maka Allahpun
membiarkan mereka bersenang-senang dan menyediakan neraka sebagai tempat
kembali mereka. Wal’iyadzubillah.
Sedangkan
ayat di atas menjelaskan keadaan orang-orang yang selalu taat beribadah kepada
Allah. Ayat diatas mengandung al-istifham al-inkari yaitu pertanyaan
yang jawabannya sudah pasti.
Maka
makna dari ayat ini, apakah orang-orang kafir yang disebutkan pada ayat
sebelumnya lebih beruntung dari pada orang-orang yang selalu taat kepada Allah.
Dan
beberapa ciri orang-orang yang taat kepada Allah adalah mereka selalu beribadah
kepada Allah ketika malam hari dalam keadaan berdiri maupun sujud. Jadi hal ini
menunjukkan beribadah beribadah kepada Allah bisa dengan berbagai keadaan, bisa
dengan berdiri, duduk, maupun sujud.
Dalam
kitab Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan ada perbedaan pendapat
pada kata “ malam hari” Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud malam hari
adalah pada sepertiga malam terakhir, dan Imam At-Tsauri berpendapat adalah
waktu antara maghrib dan isya’, sedangkan menurut Al-Hasan dan Qotadah waktu
malam adalah seluruh waktu malam, awal, tengah, dan akhir malam.
Orang-orang
yang taat kepada Allah tadi beribadah disertai dengan rasa takut terhadap adzab
akhirat dan mereka selalu mengharap rahmat Allah. hal ini menunjukkan salah
satu ciri mereka adalah selalu beribadah dengan desertai rasa khouf dan roja’.
Makna khouf dan roja’ secara
bahasa
Dalam kitab Syarh
Talaatsatul Ushul karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-utsaimin dijelaskan
bahwa Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang
mencelakakan, berbahaya atau mengganggu. Syaikh Utsaimin berkata: “roja’
adalah keinginan seseorang untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka
dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai
dalam jangka pendek.” Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna
roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…”
.
Makna khouf dan roja’ secara istilah
Makna khouf secara
istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i,
dan lain sebagainya. Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf
walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf
karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah
hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah
adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi
bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling
khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” .
Syaikh Zaid bin Hadi Al
Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud
dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla
berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’
haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai
tujuan…”. Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang
dicintai. Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat
tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah .
Sedangkan pada kata “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Maka terdapat perbedaan pendapat lagi dikalanga ulama’ mufassir.
Dalam tafsir Aisarut
Tafaasiir disebutkan bahwa makna dari kalimat itu adalah, apakah sama orang
yang mengetahui amalan-amalan yang dicintai dan yang dibenci oleh Allah.
Dalam tafsir Jami’ul Bayaan
fi Ta’wiili l Qur’aan disebutkan dua pendapat. Yang pertama adalah, apakah
sama orang-orang yang mengetahui pahala bagi orang-orang yang taat kepada Allah
dan orang-orang yang tidak mengetahui hal itu, mereka berjalan di jalan
kegelapan dan sesat. Adapun pendapat yang kedua adalah, pendapat Abu Ja’far
bahwa apakah sama antara kami yang mengetahui musuh-musuh kami dan orang-orang
yang tidak mengetahui musuh-msuh mereka.
Dari tiga pendapat di atas,
walaupun dengan tiga pertanyaan yang berbeda, namun jawabannya sama. Yaitu
mereka tidaklah sama. Dan hanya oaring-orang yang berakallah yang bisa
mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, mereka selalu memikirkan dan
mentadabbburi ayat-ayat Allah. Wollahu A’lam bis Showaab.
Maroji’:
Ø Jaami’ul Bayan fi Ta’wiilil Qur’an, Imam Ath-Thobari
Ø Aisarut Tafaasiir, Syaikh Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi
Ø Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh
Muhammad Nasiib Ar-Rifa’i
Ø Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad
bin Sholih Al-Utsaimin