Senin, 25 November 2013

Hukum Buang Air Menghadap Kiblat



Oleh: Najwa Tsurayya
  1. Matan Hadits
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى(رواه البخاري)[1]

Artinya: Dari Ali bin Abdullah dari Sufyan dari Az- Zuhry dari Atho’  bin Yazid Al-laitsiy dari Abu Ayub Al-Anshory  bahwasanya nabi r bersabda: “Jika kalian mendatangi tempat buang air, maka janganlah buang hajat dan kencing dengan menghadap kiblat akan tetapi menghadaplah kearah timur atau kebarat.”
Abu Ayub berkata: “Kami pernah datang ke Syam, maka kami melihat toiletnya dibangun menghadap kiblat sehinga kami memalingkannya dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.(HR. Bukhori)
  1. Derajat Hadits
Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.[2]

  1. Syarh Hadits
الغائط     :Tempat yang tenang dari sebagian tanah dan menjadikan maksud  untuk Qodo’ hajat
مراحيض     : jamak dari mirhat, yaitu tempat mandi
شرقوا أو غربوا     : barat dan timur

Rosulullah r  memberikan petunjuk tentang adab membuang hajat dengan tidak menghadap kiblat, yaitu ka’bah. Dan tidak membelakanginya dalam keadaan buang hajat dikarnakan kiblat tempat yang dimuliakan dan disucikan. Dan bagi mereka yang berpaling dan timur dan barat, apabila timur atau barat tidak ,menghadap padanya seperti kiblatnya ahlu madinah.[3]
Dan ketika para sahabat mereka segera menerima kebenaran perintah dari Rosulullah r. Abu ayub menyebutkan sesunguhnya mereka pernah mendatangi syam dan didapati padanya tempat mandi untuk membuang hajat, dan dibangun menghadap ka’bah. Maka mereka langsung memalingkan diri dari kiblat, akan tetapi kejadian mereka ini dikarnakan lupa dalam menghadap kiblat yang dikiranya, merekapun langsung berpaling dan mereka memohon ampun kepada Alloh atas kelalaian mereka.[4]
Namun jika kita melihat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang artinya:
 “Aku pernah naik ke rumah Hafshah radhiallahu’anha, aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sedang buang hajat menghadap Syam dan membelakangi ka’bah”(HR. Muttafaq ‘Alaih)[5] maka kita akan mendapati seolah-olah kedua hadits diatas saling bertentangan.
Ada beberapa pendapat ulama’ dalam menanggapi hal ini:
a)      Ulama’ yang mengharamkan secara muthlaq. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm Adh Dhohiri, dan pendapat inilah yang dipilih oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah,beliau berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayub.
b)      Ulama’yang membolehkan secara muthlaq. Ini adalah pendapat Urwah bin Zubair, Robi’ah dan Dawud Adh Dhohiri, mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas diatas
c)      Ulama’ yang berpendapat boleh tidak boleh ketika di tempat terbuka, dan diperbolehkan di dalam bangunan. Ulama’ yang berpendapat ini diantaranya, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Asy-Sya’bi, dan lain-lain. Dan pendapat inilah yang lebih rojih.[6] Madzhab ini menggabungkan nash-nash yang ada.
d)     Pendapat terakhir adalah makruh. Ini adalah pendapat Ash Shon’ani.[7]


  1. Kesimpulan Hadits
Setelah pembahasan diatas maka bisa diambil kesimpulan sebagai berikut:
a)      Larangan menghadap kiblat dan membelakanginya dalam keadaan buang hajat.
b)      Memuliakan ka’bah sebagai kiblat kaum muslimin.
c)      Larangan ini berlaku jika berada di tempat terbuka, sedang kan jika dilakukan di sebuah bangunan.

Wallahu a’lam bish showab

            Referensi:
Ø  Umdatul Ahkam, Syaikh Abdul Ghoni Al Maqdisi.
Ø  Az Zuhaili, Doktor Wahbah (2005). Alwajiiz fii fiqhil islaamiy 1. Damaskus, Darul Fikr.
Ø  Al-Albani, Syaikh Nashiruddin. Shohih wa dho’if Abbi Dawud. Al Iskandariah, Markaz Nurul Islam.
Ø  Ali Bassam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman (2006) Taisiirul ‘allam syarh ‘umdatul ahkam. Libanon, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah.



[1] Shohih Bukhori (qiblatu ahlu Madinah wa ahlu Syam) juz 2, hal 153
[2]Shohih wa dhoif Abu Dawud bab 87, juz 1, hal. 87
[3] Taisiirul allam (bab dukhuulul kholaa’ wal istithobah) hal 29
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 30
[6] ibid
[7] Ibid, hal 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar