Kamis, 19 Desember 2013

Benarkah Ada Ayat Natal Dalam Al-Qur'an?



Umat Islam yang tidak ikut merayakan hari Natal berarti tidak menghormati Nabi Isa,” cetus seorang tokoh masyarakat. Menurutnya dalam al-Quran terdapat ayat natal!
Ungkapan tersebut diperkuat oleh pakar komunikasi yang dekat dengan negara Iran. Menurutnya mengucapkan selamat natal, bahkan merayakan natalan, mempunyai dalil dalam al-Qur’an. Pria tengah baya ini menunjuk sebuah ayat yang terdapat dalam surat Maryam.
Ayat Natal dan Natalan?
Ayat yang dimaksud tokoh yang pernah getol menyuarakan paham Syi’ah tersebut adalah ayat 33 dari surat Maryam.
Artinya:“Kesejahteraan atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
Kyai yang sangat gusar ketika ditanya selesai atau tidak saat kuliah S-1 dalam bidang bahasa itu mengemukakan bahwa wulidtu (aku dilahirkan) menunjukkan kata keselamatan saat lahir. Maulid atau lahir kalau dalam bahasa Latin adalah natal. Jadi perayaan natal Yesus (dalam bahasa Arab disebut ‘Isa), imbuhnya, disebutkan dalam al-Qur’an. Kalau bahasa orang umum disebut harlah (hari kelahiran).
Beberapa dekade terakhir memang berkembang budaya melakukan perayaan natal bersama.Salah satu alasannnya adalah demi toleransi yang akan menciptakan kerukunan umat beragama. Disamping dengan begitu mereka merasa telah menghormati Nabi ‘Isa. Bukankah sebagai Muslim harus mengimani Nabi Isa, kilah mereka.
Pemikiran ini kemudian diusung dan dikembangkan oleh sekelompok anak muda yang bergabung dalam JIL. Dengan dukungan dana yang besar pemikiran tersebut kerap dijajakan lewat seminar dan situs internet. Kelompok yang mengklaim sebagai pengusung pemikiran kritis ini merasa perlu mati-matian untuk melegalkan natalan bagi umat Islam, apalagi sekadar mengucapkan selamat hari Natal. Kritiskah mereka dalam hal ini?
Sebelum menginjak pada bahasan lebih lanjut mungkin perlu ditinjau istilah kata natal. Natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Secara istilah Natal berarti upacara yang dilakukan oleh orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Yesus yang mereka kultuskan sebagai Tuhan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional terbitan Balai Pustaka, Upacara Natal pengertiannya: memperingati dan menghayati hari kelahiran Yesus Kristus. Yesus adalah sebutan dalam agama Nasrani dan dalam agama Islam dikenal sebagai ‘Isa. Dalam Islam, ‘Isa ‘alaihis salam diyakini sebagai Nabi yang menyampaikan Injil.
 Disebut dalam al-Quran; Artinya: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Ia telah beri kepadaku Kitab dan Ia telah jadikan aku Nabi.” (Maryam:30)
Betul memang dalam surat Maryam disebutkan ayat yang berbicara tentang natal, dalam artian bahasa sebagai kelahiran. Sementara adanya anggapan bahwa ayat tersebut merupakan ayat natal yang berarti menganjurkan untuk memperingati hari kelahiran seseorang (adalah merupakan sesuatu yang) terlalu gegabah dan ngawur.
Bukan Sekadar Otak-Atik Bahasa
Tidak bisa dipungkiri bahwa al- Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab. Orang Arab saja belum tentu pas dalam memahami isinya, apalagi orang non-Arab. Untuk pas dalam memahami makna ayat- ayatnya itulah dibutuhkan sebuah tafsir. Tujuan tafsir sendiri membantu seseorang mengetahui arti, makna, dan maksud sebuah ayat sebagaiman Allah kehendaki. Karena memang al-Qur’an berasal dari-Nya. Karena disampaikan kepada manusia melalui lisan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliaulah yang paling paham terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan begitu mengambil penafsiran adalah yang selalu merujuk kepada penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memahami tafsir semacam ini tentunya orang (yang) mempelajari ilmu tafsir dengan baik. Mereka tidak cukup berbekal kemampuan berbahasa Arab, namun juga dasar-dasar ilmu tafsir di samping juga ilmu hadits. Tafsir memang bukan sekadar otak-atik bahasa dan kata.
Salah satu mufassir (ulama ahli tafsir) yang terkenal adalah Abu Fida Ismail Ibnu Katsir. Apa komentar beliau tentang ayat ke-33 surat Maryam di muka?
Merupakan penetapan dari Nabi Isa ‘alaihis salam tentang penghambaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau hanyalah makhluk sebagaimana makhluk Allah yang lain. Beliau hidup lalu mati dan akan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk pada umumnya. Akan tetapi beliau diberikan keselamatan oleh Allah (dari semua kejelekan dan bahaya) pada semua tahapan kehidupan beliau.1
Mengapa Harus Taklid?
Seorang Muslim dalam kondisi tertentu memang diperbolehkan untuk taklid, tentu taklid kepada ulama. Sudah terlalu tua sehingga tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan intelektualitas maupun fisik, untuk memahami dalil yang dijadikan rujukan para ulama, misalnya. Ironisnya banyak kaum muda Muslim yang justru mentah-mentah taklid kepada orang kafir. Bukan kepada ulama, sekali lagi kepada orang kafir. Biasanya menyikapi ulama selalu berlawanan, misalnya ulama mengatakan angka 1 adalah 1, mereka mengatakan bahwa angka 1 bisa jadi bernilai 2. Giliran ada tokoh agama kafir mengata- kan bahwa huruf A bisa dibaca B pun mereka menurut 100%, tanpa koreksi sedikitpun!
Mirip dengan tradisi perayaan natal. Kalau benar bahwa natal memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam. ‘Isa dalam pandangan kaum Muslimin berbeda dengan Yesus dalam pandangan mereka. Yesus mereka anggap sebagai anak Tuhan, dan ini merupakan syirik besar, sementara ‘Isa adalah anak manusia. Akankah kita ikut memperingati kelahiran kesyirikan?! Begitu mudahkah seorang anak muda Muslim yang berjiwa sehat ikut- ikutan? Kalau memang natal sekadar memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam sebagai manusia dan Nabi, sejak kapan para Nabi merayakan ulang tahunnya? Tidak dikenal perayaan natal Nabi Yahya, yang tersebut dalam surat Maryam ayat 15. Ayatnya mirip hanya berbeda kata ganti. Catatan Bible juga tidak menyebutkan secuil bukti adanya perayaan natal di zamannya. Justru sejarah mencatat natal baru dikenal pada tahun 300-an, sebagai adopsi tradisi budaya syirik Romawi. Tanggal 25 Desember lebih jelas sejarahnya sebagai hari peringatan Dewa Matahari (Sol Invictus). Muhammad sebagai Nabi terakhirpun tidak pernah memperingati hari kelahirannya sendiri, natal pun tak pernah ikut apalagi menganjurkan, padahal natal sudah dikenal di zaman beliau. Kalau seandainya perlu merayakan hari lahir, pantaskah seorang Muslim yang cerdas memperingati sesuatu yang hari tanggalnya saja tidak jelas. Berbagai literatur mencatat bahwa ‘Isa lahir di Palestina dalam kondisi musim panas. Kenapa kini jadi tanggal 25 Desember yang masuk dalam musim dingin? Masihkah kita menggunakan sedikit akal sehat kita? Kenapa sebagai Muslim harus mati-matian, hingga memutarbalikkan makna ayat demi melegalkan perayaan natal bersama? Bahkan rela pasang badan untuk mencarikan dalil bagi orang-orang yang menyekutukan Allah. Apa yang diperoleh dengan langkah-langkah tersebut? Yang jelas bukan aliran pahala dari Allah, paling banter aliran dana dari pihak-pihak tertentu.
Kenapa harus mengorbankan akidah umat, sekadar untuk mendapatkan sesuatu yang sepele? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan sejati telah memberi peringatan agar menjauhi tempat perayaan orang kafir.
Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi menanyakan kepadanya (yang artinya); ‘Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Beliau bertanya; ‘Apakah disana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Maka Nabi bersabda; ‘Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim)
Pesan Ulama Kita
Banyak ulama yang berpesan agar umat Islam tidak terlarut dalam perayaan hari raya orang kafir. Ibnul-Qayyim rahimahullah menyatakan; “Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri perayaan hari raya kaum musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak memberikan fatwa. Para ulama fikih dari madzhab yang empat sudah menegaskan hal itu dalam buku-buku mereka. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: “Janganlah menemui orang- orang musyrik di gereja-gereja mereka pada hari raya mereka. Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara mereka.” Umar juga pernah berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada hari raya mereka.” Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari ‘Abdullah bin Amru Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah berkata; “Barangsiapa lewat di negeri non-Arab, yang sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkit- kan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.2

Dalam kitabnya, “Iqtidla ‘ash-Shirathil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhaabil-Jahim,” Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan; “Ijtanibuu a’daa’allaahi fii ‘idihim.” (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).
Kaum non-Muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma sahabat dan disepakati jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan natal bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masyarakat Muslim– adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka.” Akankah kita menuruti arahan sekelompok Muslim yang taklid kepada tokoh kafir atau kepada Umar yang betul-betul cerdas alim dan setia pada Rasulullah dan risalahnya?
Catatan Kaki:
1.                  ^ Tafsir al-Quranul-Azhim Ibnu Katsir, juz 3, halaman 118, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang Indonesia.
2.                  ^ Ahkamu Ahlidz-Dzimmah I : 723-724.
Sumber:

Hukum Mengucapkan Selamat Natal



Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta Alam. Tidak ada tuhan yang sebenarnya kecuali Dia semata, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Shalawat dan salam teruntuk Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Nuansa Natal di negeri yang mayoritas muslim ini sudah sangat terasa kemeriahannya. Mall-mall dan pusat perbelanjaan menggelar event-event bertemakan natal. Semua itu untuk memeriahkan hari crismash yang diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan.
Dalam akidah Islam Al-Masih Isa bin Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Bahkan Allah Ta’ala telah membantah di banyak ayat-Nya terhadap tuduhan bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya,
وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. al-Jin: 3)
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)
Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang lainnya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)
Sesungguhnya umat Kristiani telah berlaku lancang kepada Allah dengan menuduh-Nya telah mengangkat seorang hamba dan utusan-Nya sebagai anak-Nya yang mewarisi sifat-sifat-Nya. Karena ucapan mereka ini, hampir-hampir membuat langit dan bumi pecah karenanya.
"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)
Maka tidak mungkin seorang muslim yang mentauhidkan Allah akan ikut serta, mendukung, mengucapkan selamat atas perayaan Natal, dan bergembira dengan perayaan-perayaan hari raya tersebut yang jelas-jelas menghina Allah dengan terang-terangan. Keyakinan ini membatalkan peribadatan kepada Allah, karena inilah Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
Namun di tengah-tengah zaman penuh fitnah ini, prinsip akidah yang sudah tertera sejak 1400 tahun yang lalu mulai digoyang dan dianulir atas nama toleransi. Dengan dalih kerukunan antarumat beragama, sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakan dan memeriahkan hari besar kufur dan syirik ini. Sebagian mereka dengan suka rela mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir atas hari raya mereka yang berisi kekufuran dan kesyirikan terebut.
Lebih tragis lagi, pembenaran saling mengucapkan selamat atas hari raya antar umat beragama dilontarkan oleh para tokoh intelektual Muslim. Tidak sedikit mereka yang bergelar Profesor dan Doktor.
Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dalam isi materi yang disampaikannya dalam pengajian ICMI Eropa bekerjasama dengan pengurus Masjid Nasuha di Rotterdam, Belanda, Jumat (17/12/2010), menyimpulkan bahwa mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Menurutnya masalah mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Yang pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang. Dan menurut Sofjan, tidak ada satu ayat Al Quran atau hadits pun yang eksplisit melarang mengucapkan selamat atau salam kepada orang non-muslim seperti di hari Natal. (Detiknews.com, Ahad: 19/12/2010)
Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen.
"Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani," katanya di hadapan ratusan umat Kristiani dalam seminar Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10/2005).

Fatwa Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullaah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. “Apa hukum mengucapkan selamat hari raya Natal kepada orang-orang kafir? Dan bagaimana kita membalas jika mereka mengucapkan Natal kepada kita? Apakah boleh mendatangi tempat-tempat yang menyelenggarakan perayaan ini? Apakah seseorang berdosa jika melakukan salah satu hal tadi tanpa maksud merayakannya? Baik itu sekedar basa-basi atau karena malu atau karena terpaksa atau karena hal lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka dalam hal itu?
Beliau rahimahullaah menjawab dengan tegas, “Mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat Natal atau ucapan-ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya HARAM sesuai kesepakatan ulama. Sebagaimana kutipan dari Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam bukunya Ahkam Ahl Adz-Dzimmah, beliau menyebutkan:
“Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan (ulama). Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan 'Ied Muharak 'Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid'ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”Demikian ungkapan beliau rahimahullaah.
Haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar atas hari raya agama mereka, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnul Qayyim, karena di dalamnya terdapat pengakuan atas syi’ar-syi’ar kekufuran dan ridha terhadapnya walaupun dia sendiri tidak ridha kekufuran itu bagi dirinya. Kendati demikian, bagi seorang muslim diharamkan ridha terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat dengan syi’ar tersebut kepada orang lain, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak ridha terhadap semua itu, sebagaimana firman-Nya,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Al-Zumar: 7)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3) dan mengucapkan selamat kepada mereka dengan semua itu adalah haram, baik ikut serta di dalamnya ataupun tidak.”
Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka kepada kita, hendaknya kita tidak menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita dan Allah Ta’ala tidak meridhai hari raya tersebut, baik itu merupakan bid’ah atau memang ditetapkan dalam agama mereka. Namun sesungguhnya itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam yang dengannya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada seluruh makhluk. Allah telah berfirman tentang agama Islam,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Seorang muslim haram memenuhi undangan mereka dalam perayaan ini, karena ini lebih besar dari mengucapkan selamat kepada mereka, karena dalam hal itu berarti ikut serta dalam perayaan mereka. Juga diharamkan bagi kaum muslimin untuk menyamai kaum kuffar dengan mengadakan pesta-pesta dalam momentum tersebut atau saling bertukar hadiah, membagikan permen, parsel, meliburkan kerja dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka. Dan bisa jadi memberi makan pada mereka dalam kesempatan itu dan menaklukan kaum lemah.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.
Dan barangsiapa melakukan di antara hal-hal tadi, maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar basa-basi atau karena mencintai, karena malu atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. (Al-Majmu’ Ats-Tsamin, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3 diunduh dari situs islamway.com)

Kamis, 12 Desember 2013

Sya'ir Sayyid Quthb



Sahabat,
Andainya kematianku ini kau tangisi
Pusaraku kau siram dengan air matamu
Maka di atas tulang belulangku yang sudah hancur luluh
Nyalakan obor untuk ummat ini
Dan ... lanjutkan gerak merebut kemenangan

Sahabat,
Kematianku hanyalah suatu perjalanan
Memenuhi panggilan kekasih yang merindu
Taman-taman indah di syurga Tuhan
Terhampar menanti
Burung burungnya berpesta menyambutku
Dan berbahagialah hidupku di sana

Sahabat,
Puaka kegelapan pasti 'kan lebur
Fajar 'kan menyingsing
Dan alam ini 'kan disinari cahaya lagi
Relakanlah rohku terbang menjelang rindunya
Jangan gentar berkelana ke alam abadi
Nun di sana ... cahaya fajar sedang memancar