MAKALAH QOIDAH FIQHIYAH
ADH DHORORU YUZAALU
9/30/2013
Oleh: Najwa Tsurayya
Ditulis Guna: Memenuhi tugas
Makalah Qoidah Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Ust. Fajrun
Mustaqim Lc
MA’HAD
ALY “HIDAYATURRAHMAN”
PILANG-MASARAN-SRAGEN-JAWA
TENGAH
Adh Dhororu Yuzaalu
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa syariat
yang dibawa oleh nabi Muhammad, adalah syariat yang bersifat tidak memberatkan
dan mudah untuk dilaksanakan, kemudian apabila ada hal-hal yang dapat
dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan umat dalam menjalankannya, maka
hal-hal tersebut harus dihindari atau dihilangkan.
Sesuai dengan pokok bahasan kali
ini, yaitu: الضرار يزال sebagai qaidah pokok fiqih yang
ke-empat dari lima qaidah pokok yang ada, penulis akan berusaha menyajikan
pembahasan sekitar dalil yang mendasari qaidah ini, perincian qaidah (qaidah-qaidah
yang berada dalam lingkup qaidah asal ini), dan beberapa contoh masalah yang
berhubungan dengannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Landasan
Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
2.
Makna
Hadits “ لا ضرر و لا ضرار”
3.
Penjelasan
Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
4.
Qoidah-Qoidah
Cabang Dari Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui
Landasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
2.
Mengetahui
Makna Hadits “ لا ضرر و لا ضرار”
3.
Mengetahui
Penjelasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
4.
Mengetahui
Qoidah-Qoidah Cabang Dari Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
Qoidah
Qaidah
ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan
demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar
dari qaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا
وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)
Artinya: dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik. (Q.S al-a’raf 7: 56)
Dan hadits Rosulullah
r:
لا
ضرر و لا ضرار
“Jangan membahayakan dan jangan balas membahayakan!”(HR. Ibnu Majah)
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattho’ ,Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok.[1]
B. Makna Hadits
Makna adh dhoror adalah
memberikan kerusakan kepada orang lain secara muthlak.
Sedangkan makna adh dhiroor adalah membalas bahaya dengan
bahaya. Atau memberikan kerusakan kepada orang lain dengan tujuan membalas.[2]
Hadits ini menerangkan
haramnya berbuat bahaya, karena dia termasuk kedholiman. Kecuali adanya dalil
yang mengkhususkan hal tersebut. Seperti hudud dan hukuman.
C.
Penjelasan
Qoidah
Qoidah ini termasuk rukun syariat
yang telah disebutkandi dalam nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia
adalah asas untuk mencegah perbuatan yang membahayakan.
Sebagaimana qoidah ini sebagai
landasan dalam mendatangkan maslahat dan mencegah mafasdat. Qoidah ini juga
sebagai pengantar, sandaran dan timbangan bagi para fuqoha’dalam menetapkan
hukum-hukum syariat terhadap peristiwa yang terjadi.
Dari qoidah ini banyak dibangun
bab-bab fiqih, seperti menolak aib, kafarat, hudud, qishos, membunuh orang-orang
musyrik dan pemberontak, dan sebagaimana yang mana hikmah pensyariatannya
adalah menolak bahaya.[3]
Qoidah ini memerintahkan untuk
mencegah bahaya secara mutlak, mencakup di dalamnya bahaya secara umum maupun
khusus. Yang sudah terjadi maupun belum terjadi, dengan cara pencegahan
terhadap bahaya itu semampunya, menghilangkan pengaruhnya, dan mencegah
pengulangannya.
Adapun hukuman bagi oarang-orang
yang berdosa seperti hudud dan qishoh bukan berarti bertentangan dengan qoidah
ini, karena hal itu bukan termasuk menimpakan suatu bahaya kepada seseorang
akan tetapi adalah sebuah keadilan dan mencegah bahaya yang lebih besar dan
umum.[4]
Sedangkan
maksud dari nafyu dhiror adalah meniadakan pikiran untuk membalas suatu
bahaya yang mana hal itu hanya akan membuat bertambahnya bahaya iu dan semakin
meluas. Maka menimbulkan bahaya walaupun untuk membalas dilarang untuk
dijadikan suatu tujuan, hanya saja hal itu boleh jika terpaksa melakukannya.
Contoh kasus
dalam qoidah ini:
a.
Jika telah
habis masa sewa tanah untuk cocok tanam sebelum masa panen, maka penyewa menambah
uang sewa sejumlah harga sewa sampai masa panen tiba. Karena mencegah
kemudhorotan mencabut tanaman sebelum waktunya.
b.
Dibolehkan
memenjarakan orang yang terkenal kekejiannya dan kefasikannya sampai tampak
taubatnya, walaupun belum ditetapkan kesalahan yang pasti oleh pengadilan
resmi, untuk mencegah kejahatannya.[5]
D.
Qoidah-Qoidah
Cabang Dari “Adh Dhororu Yuzaalu”
1. الضرر يدفع بقدر الإمكان (Kemudhorotan itu dicegah sebisa mungkin)
Sesungguhnya bahaya itu dicegah untuk tidak terjadi dengan sesuatu
yang tidak berbahaya. Jika tidak memungkinkan maka dicegah sebisa mungkin.
Qoidah ini menunjukan wajibnya mencegah bahaya sebelum terjadi dengan
segala cara yang memungkinkan. Dikuatkan juga dengan qoidah “Pencegahan lebih
baik dari pada pengobatan” dan ini dilakukan semampunya. Karena pembebanan
syariat itu berkaitan dengan kemampuan dalam pelaksanaan.
Contoh maslahat untuk umum adalah:
Disyariatkannya jihad untuk mencegah kejahatan musuh, diwajibkannya
hukuman-hukuman untuk menumpas kejahatan dan menjaga keamanan, dan wajibnya
macam-macam sadd adz dzaroi’.
Dan contoh untuk yang khusus adalah:
Disyariatkannya hak syuf’ah
untuk mencegah bahaya yang akan terjadi terhadap tetangga. Syariat karantina
untuk orang yang sering berkata keji untuk mencegah tersebarnya kata-kata keji
itu di masyarakat.[6]
2.
الضرر
يزال (Kemudhorotan itu harus dihilangkan)
Qoidah ini
menunjukkan wajibnya menghilangkan bahaya dan mengangkatnya setelah terjadi.
Contohnya jika
ada dahan pohon seseorang condong ke rumah tetangganya sehingga membahayakan
tetangganya. Maka dia dibebani untuk mengangkatnya dan memotongnya.
3.
الضرر لا يزال بمثله
أو بالضرر (Kemudharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding, atau bahaya)
Maksud qoidah
itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan
kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak
mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini
tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap
hutangnya.
Contoh lain
seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain
jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang
menerima donor.[7]
4. الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف (Kemudhorotan yang lebih besar dihilangkan dengan kemudhorotan yang
lebih ringan)
5. يختار أهوان الشرّين و أخفّ الضررين
(Dipilih yang lebih mudah dari dua kejahatan dan yang lebih ringan dari dua
mudhorot)
6. إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا
بارتكاب أخفّهما.
(Jika terjadi pertentangan antara dua macam mafsadat,
maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang
lebih ringan)
Tiga
qoidah di atas satu makna yaitu manakala pada suatu ketika datang secara
bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mafsadat
itu yang lebih kecil ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya
lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil
atau yang lebih ringan mudharatnya.[8]
Contoh
dari qoidah ini adalah jika ada orang sholat berdiri akan tersingkap auratnya,
yang mana hal itu menghalanginya untuk sholat, dan jika dia sholat dengan duduk
tidak tersingkap auratnya maka dia sholat dengan duduk, karena meninggalkan
berdiri lebih ringan.
Contoh
lainnya yaitu diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang meninggal
jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
7. يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام (Mengedepankan mudhorot yang bersifat khusus untuk mencegah
mudhorot yang lebih umum)
Qoidah ini hampir sama seperti sebelumnya, hanya saja qoidah ini
lebih khusus. Qoidah ini dibangun diatas maqhosid syariah. Syariat potong
tangan bagi pencuri untuk menjaga harta, hudud qodzaf dan zina untuk menjaga
kehormatan, qishos dan membunuh orang murtad untuk menjaga jiwa dan agama.
Contoh dari qoidah ini adalah syariat untuk membunuh penyihir yang
membahayakan dan orang kafir yang menyesatkan karena satu orang bisa
menyebarkan fitnah kepada banyak orang.
Contoh lain yaitu bolehnya mengkarantina mufti yang banyak sendau
gurau sebagai bentuk penjagaan terhadap agama manusia.[9]
8.
درء
المفاسد أولى من جلب المصالح (Menolak mafsadat lebih utama dari pada
mendatangkan maslahat)
Jika menolak
mafsadat dan medatangkan maslahat bertemu maka didahulukan menolak mafsadah.
Karena perhatian syariat terhadap larangan-larangan itu lebih ditekankan dari
pada perintah-perintah. Hal ini berlandaskan hadits Rosulullah :
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ
“Apabila aku telah memerintahkanmu dengan suatu perintah maka
kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu
tentang sesuatu maka jauhilah.”(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"[10]
Contoh dari qoidah ini adalah jika wanita wajib mandi kemudian
tidak mendapati penutup dari pandangan laki maka mandinya diakhirkan. Karena
membuka aurot dihadapan laki-laki adalah
mafsadat.
Contoh lainnya adalah dilarangnya berjualan khomer, daging babi dan
apa-apa yang diharamkan, walaupun di dalamnya terdapat keuntungan yang banyak.
Ada beberapa pengecualian yang terdapat pada qoidah ini, jika
muamalah seseorang kebanyakan dari harta yang haram dan tidak diketahui antara
yang haram dan halal, maka dihukumi harta itu tidak haram akan tetapi hal itu
makruh.
9. الضرورات
تبيح المحظورات
(Kamadharatan itu membolehkan
hal-hal yang dilarang)
Dasar nash dari qoidah di atas adalah
firman Allah:
وقد فصل لكم ما حرم عليكم الامااضطررتم اليه
Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah
menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmukecualiapa yang terpaksa
kamu memakannya”(QS. al-An’am:119)
Melihat ayat di atas, tidak semua
keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya
melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi
hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan
sebatas keperluannya.
Dan lainnya
masih banyak qoidah-qoidah yang berlandaskan qoidah asal adh dhororu yuzaalu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini,
penulis mengambil kesimpulan bahwa qaidah ini adalah qaidah kedua dari lima qaidah
asasiyyah yang telah dibahas sebelumnya. Qaidah ini membahas tentang
Kemudharatan Harus Dihilangkan. Yang dimana maksud dari qaidah tersebut adalah,
dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa
mengatasinya dengan cara melanggar hukum., namun dalam batasan-batasan
tertentu. Wallahu a’lam bish showab.
Referensi :
·
Al Qur’an dan Terjemahnya.
·
Al Burnu, Muhammad Shidqiy Bin Ahmad
(1983 M/ 1404 H). Al Wajiz Fi Idhoohi Qowaid al Fiqhi al Kulliyah.
Riyadh: Muassasah Ar Risaalah.
·
As Suyuthi, Abdurrahman Bin Abi
Bakar (1403 H). Al Asybaah Wa An Nadhoir. Beirut: Darul Kutub Al
‘ilmiyah.
·
Al Hanafi, Ahmad Bin Muhammad. Ghomzu ‘uyuuni al bashoir syarh al asybaah
wan nadhooir, juz 4.
·
http://almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 79
[5] Ibid, hal. 80
[6] Ibid, hal.81
[7]http://almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html
[9] Ibid, hal. 85
[10]Ghomzu ‘uyuuni al bashoir syarh al asybaah wan nadhooir, juz 4, hal.
447
Tidak ada komentar:
Posting Komentar