Jumat, 22 November 2013

Makalah Qoidah Fiqhiyah




MAKALAH QOIDAH FIQHIYAH

ADH DHORORU YUZAALU

9/30/2013

Oleh: Najwa Tsurayya


Ditulis Guna: Memenuhi tugas Makalah Qoidah Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Ust. Fajrun Mustaqim Lc





MA’HAD ALY  “HIDAYATURRAHMAN”
PILANG-MASARAN-SRAGEN-JAWA TENGAH










Adh Dhororu Yuzaalu
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad, adalah syariat yang bersifat tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan, kemudian apabila ada hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan umat dalam menjalankannya, maka hal-hal tersebut harus dihindari atau dihilangkan.
Sesuai dengan pokok bahasan kali ini, yaitu: الضرار يزال sebagai qaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima qaidah pokok yang ada, penulis akan berusaha menyajikan pembahasan sekitar dalil yang mendasari qaidah ini, perincian qaidah (qaidah-qaidah yang berada dalam lingkup qaidah asal ini), dan beberapa contoh masalah yang berhubungan dengannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Landasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
2.      Makna Hadits “ لا ضرر و لا ضرار
3.      Penjelasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
4.      Qoidah-Qoidah Cabang Dari Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”

C.     Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui Landasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
2.      Mengetahui Makna Hadits “ لا ضرر و لا ضرار
3.      Mengetahui Penjelasan Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”
4.      Mengetahui Qoidah-Qoidah Cabang Dari Qoidah “Adh dhororu Yuzaalu”


                                                             BAB II       
PEMBAHASAN
A.    Landasan Qoidah
Qaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari qaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)
Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf 7: 56)

Dan hadits Rosulullah r:
لا ضرر و لا ضرار
Jangan membahayakan dan jangan balas membahayakan!”(HR. Ibnu Majah)
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattho’ ,Al-Hakim dalam Al-Mustadrok.[1]
B.     Makna Hadits
Makna adh dhoror adalah memberikan kerusakan kepada orang lain secara muthlak.
Sedangkan makna  adh dhiroor adalah membalas bahaya dengan bahaya. Atau memberikan kerusakan kepada orang lain dengan tujuan membalas.[2]
Hadits ini menerangkan haramnya berbuat bahaya, karena dia termasuk kedholiman. Kecuali adanya dalil yang mengkhususkan hal tersebut. Seperti hudud dan hukuman.
C.     Penjelasan Qoidah
Qoidah ini termasuk rukun syariat yang telah disebutkandi dalam nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dia adalah asas untuk mencegah perbuatan yang membahayakan.
Sebagaimana qoidah ini sebagai landasan dalam mendatangkan maslahat dan mencegah mafasdat. Qoidah ini juga sebagai pengantar, sandaran dan timbangan bagi para fuqoha’dalam menetapkan hukum-hukum syariat terhadap peristiwa yang terjadi.
Dari qoidah ini banyak dibangun bab-bab fiqih, seperti menolak aib, kafarat, hudud, qishos, membunuh orang-orang musyrik dan pemberontak, dan sebagaimana yang mana hikmah pensyariatannya adalah menolak bahaya.[3]
Qoidah ini memerintahkan untuk mencegah bahaya secara mutlak, mencakup di dalamnya bahaya secara umum maupun khusus. Yang sudah terjadi maupun belum terjadi, dengan cara pencegahan terhadap bahaya itu semampunya, menghilangkan pengaruhnya, dan mencegah pengulangannya.
Adapun hukuman bagi oarang-orang yang berdosa seperti hudud dan qishoh bukan berarti bertentangan dengan qoidah ini, karena hal itu bukan termasuk menimpakan suatu bahaya kepada seseorang akan tetapi adalah sebuah keadilan dan mencegah bahaya yang lebih besar dan umum.[4]
Sedangkan maksud dari nafyu dhiror adalah meniadakan pikiran untuk membalas suatu bahaya yang mana hal itu hanya akan membuat bertambahnya bahaya iu dan semakin meluas. Maka menimbulkan bahaya walaupun untuk membalas dilarang untuk dijadikan suatu tujuan, hanya saja hal itu boleh jika terpaksa melakukannya.
Contoh kasus dalam qoidah ini:
a.       Jika telah habis masa sewa tanah untuk cocok tanam sebelum masa panen, maka penyewa menambah uang sewa sejumlah harga sewa sampai masa panen tiba. Karena mencegah kemudhorotan mencabut tanaman sebelum waktunya.
b.      Dibolehkan memenjarakan orang yang terkenal kekejiannya dan kefasikannya sampai tampak taubatnya, walaupun belum ditetapkan kesalahan yang pasti oleh pengadilan resmi, untuk mencegah kejahatannya.[5]
D.    Qoidah-Qoidah Cabang Dari “Adh Dhororu Yuzaalu”
1.     الضرر يدفع بقدر الإمكان (Kemudhorotan itu dicegah sebisa mungkin)
Sesungguhnya bahaya itu dicegah untuk tidak terjadi dengan sesuatu yang tidak berbahaya. Jika tidak memungkinkan maka dicegah sebisa mungkin.
Qoidah ini menunjukan wajibnya mencegah bahaya sebelum terjadi dengan segala cara yang memungkinkan. Dikuatkan juga dengan qoidah “Pencegahan lebih baik dari pada pengobatan” dan ini dilakukan semampunya. Karena pembebanan syariat itu berkaitan dengan kemampuan dalam pelaksanaan.
Contoh maslahat untuk umum adalah:
Disyariatkannya jihad untuk mencegah kejahatan musuh, diwajibkannya hukuman-hukuman untuk menumpas kejahatan dan menjaga keamanan, dan wajibnya macam-macam sadd adz dzaroi’.
Dan contoh untuk yang khusus adalah:
        Disyariatkannya hak syuf’ah untuk mencegah bahaya yang akan terjadi terhadap tetangga. Syariat karantina untuk orang yang sering berkata keji untuk mencegah tersebarnya kata-kata keji itu di masyarakat.[6]
2.     الضرر يزال (Kemudhorotan itu harus dihilangkan)
Qoidah ini menunjukkan wajibnya menghilangkan bahaya dan mengangkatnya setelah terjadi.
Contohnya jika ada dahan pohon seseorang condong ke rumah tetangganya sehingga membahayakan tetangganya. Maka dia dibebani untuk mengangkatnya dan memotongnya.        
3.     الضرر لا يزال بمثله أو بالضرر (Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding, atau bahaya)
Maksud qoidah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.[7]

4.     الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف (Kemudhorotan yang lebih besar dihilangkan dengan kemudhorotan yang lebih ringan)
5.     يختار أهوان الشرّين و أخفّ الضررين (Dipilih yang lebih mudah dari dua kejahatan dan yang lebih ringan dari dua mudhorot)
6.     إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفّهما. (Jika terjadi pertentangan antara dua macam mafsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan)
Tiga qoidah di atas satu makna yaitu manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mafsadat itu yang lebih kecil ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan mudharatnya.[8]
Contoh dari qoidah ini adalah jika ada orang sholat berdiri akan tersingkap auratnya, yang mana hal itu menghalanginya untuk sholat, dan jika dia sholat dengan duduk tidak tersingkap auratnya maka dia sholat dengan duduk, karena meninggalkan berdiri lebih ringan.
Contoh lainnya yaitu diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang meninggal jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.  
7.     يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام (Mengedepankan mudhorot yang bersifat khusus untuk mencegah mudhorot yang lebih umum)
Qoidah ini hampir sama seperti sebelumnya, hanya saja qoidah ini lebih khusus. Qoidah ini dibangun diatas maqhosid syariah. Syariat potong tangan bagi pencuri untuk menjaga harta, hudud qodzaf dan zina untuk menjaga kehormatan, qishos dan membunuh orang murtad untuk menjaga jiwa dan agama.
Contoh dari qoidah ini adalah syariat untuk membunuh penyihir yang membahayakan dan orang kafir yang menyesatkan karena satu orang bisa menyebarkan fitnah kepada banyak orang.
Contoh lain yaitu bolehnya mengkarantina mufti yang banyak sendau gurau sebagai bentuk penjagaan terhadap agama manusia.[9]
8.     درء المفاسد أولى من جلب المصالح  (Menolak mafsadat lebih utama dari pada mendatangkan maslahat)
Jika menolak mafsadat dan medatangkan maslahat bertemu maka didahulukan menolak mafsadah. Karena perhatian syariat terhadap larangan-larangan itu lebih ditekankan dari pada perintah-perintah. Hal ini berlandaskan hadits Rosulullah :
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ
Apabila aku telah memerintahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah.”(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"[10]
Contoh dari qoidah ini adalah jika wanita wajib mandi kemudian tidak mendapati penutup dari pandangan laki maka mandinya diakhirkan. Karena membuka aurot dihadapan laki-laki adalah  mafsadat.
Contoh lainnya adalah dilarangnya berjualan khomer, daging babi dan apa-apa yang diharamkan, walaupun di dalamnya terdapat keuntungan yang banyak.
Ada beberapa pengecualian yang terdapat pada qoidah ini, jika muamalah seseorang kebanyakan dari harta yang haram dan tidak diketahui antara yang haram dan halal, maka dihukumi harta itu tidak haram akan tetapi hal itu makruh.
9.      الضرورات تبيح المحظورات (Kamadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang)
Dasar nash dari qoidah di atas adalah firman Allah:
وقد فصل لكم ما حرم عليكم الامااضطررتم اليه
Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmukecualiapa yang terpaksa kamu memakannya”(QS. al-An’am:119)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Dan lainnya masih banyak qoidah-qoidah yang berlandaskan qoidah asal adh dhororu yuzaalu.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa qaidah ini adalah qaidah kedua dari lima qaidah asasiyyah yang telah dibahas sebelumnya. Qaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan. Yang dimana maksud dari qaidah tersebut adalah, dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa mengatasinya dengan cara melanggar hukum., namun dalam batasan-batasan tertentu. Wallahu a’lam bish showab.  
  


Referensi :
·         Al Qur’an dan Terjemahnya.
·         Al Burnu, Muhammad Shidqiy Bin Ahmad (1983 M/ 1404 H). Al Wajiz Fi Idhoohi Qowaid al Fiqhi al Kulliyah. Riyadh: Muassasah Ar Risaalah.
·         As Suyuthi, Abdurrahman Bin Abi Bakar (1403 H). Al Asybaah Wa An Nadhoir. Beirut: Darul Kutub Al ‘ilmiyah.
·         Al Hanafi, Ahmad Bin Muhammad.  Ghomzu ‘uyuuni al bashoir syarh al asybaah wan nadhooir, juz 4.
·         http://almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html




[1] Al-Asybaah Wan Nadhooir, as-Suyuthi, hal. 154
[2] Al Wajiz Fi Idhohi qowaaaid al fiqh al kulliyah, hal. 78
[3] Ibid
[4] Ibid, hal. 79
[5] Ibid, hal. 80
[6] Ibid, hal.81
[7]http://almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html
[8] Al Wajiz Fi Idhohi qowaaaid al fiqh al kulliyah, hal. 83
[9] Ibid, hal.  85
[10]Ghomzu ‘uyuuni al bashoir syarh al asybaah wan nadhooir, juz 4, hal. 447

Tidak ada komentar:

Posting Komentar