Ilmu Nahwu adalah ilmu yang membahas
tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan akhir kata bahasa arab yang
berhubungan denganya. Adapun faktor yang mendorong di rumuskanya ilmu Nahwu
adalah keinginan adanya fasilitas ilmu yang memadai untuk memahami pesan-pesan
agama dalam al-Qur’an dan al Hadits yang berbahasa Arab, Implikasi dari bahasa
al Qur’an dan al-Hadits dalam melakukan amal sehari-hari khususnya yang
berkaitan dengan praktek kegamaan harus menggunakan bahasa Arab. Di samping itu
dalam sejarah hidup para ulama Nahwu kebanyakan dari mereka adalah para ahli
Qira’ah, ahli bacaan al Qur’an, yang berkepentingan untuk menjaga otentitas
bacaan al Qur’an.
Imam
Sibawaih terkenal dengan julukan ‘ajam yang menunjukan bahwa beliau berasal
dari Persia. Nama lengkapnya ‘Amr bin ‘Usman Qunbar, lahir di daerah Baidha
sebuah desa di negeri persia berdekatan dengan Syiraz pada tahun 148 H
bertepatan dengan tahun 765 M. Beliau adalah salah satu murid dari Al-khalil
bin Ahmad al Farahidi yang diakui kecerdasan dan kepandaianya dalam masalah
Nahwu tentang ‘amil dan ‘awamil yang kemudian oleh beliau di kumpulkan
ilmu-ilmu tersebut menjadi Al Kitab. Beliau termasuk ulama yang paling berjasa
dalam pengembangan dan penyempurnaan ilmu Nahwu Bashrah.
Di antara para linguis yang turut serta mengembangkan ilmu Nahwu adalah Imam Sibawaih karena di tangan Beliaulah bermacam-macam istilah Nahwu lahir. Kota Bashrah merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dalam skripsi ini bermaksud untuk meneliti lebih lanjut tentang peran serta karya Imam Sibawaih dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu Nahwu khususnya di Bashrah.
Di antara para linguis yang turut serta mengembangkan ilmu Nahwu adalah Imam Sibawaih karena di tangan Beliaulah bermacam-macam istilah Nahwu lahir. Kota Bashrah merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dalam skripsi ini bermaksud untuk meneliti lebih lanjut tentang peran serta karya Imam Sibawaih dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu Nahwu khususnya di Bashrah.
KISAH
PERJALANAN HIDUP SIBAWAEHI
Adalah
Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar [148-180 H./765-795 M.])
pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang
banyak mengenalnya: “Sibawaehi”. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya:
harum buah apel.Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di suatu komunitas besar
di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia (Iran sekarang).
Dalam
umur yang relatif dini, Sibawaehi kecil bersama keluarganya hijrah ke kota
Bashrah meninggalkan tanah kelahirannya, Baidha’. Dunia metropolitan Bashrah
yang menjadi basis keilmuan Islam saat itu merupakan saksi awal keilmuan
Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu bersama para
ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia yang belum terlalu
tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di kota
Ahwaz, Iran.
Hingar-bingar
keilmuan Bashrah membuat Sibawaehi kecil kerasan alias beta, dengan tekun ia
belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah ibn Dinar, salah seorang
Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu, Sibawaehi mendapati lahn
(kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika membacakan beberapa hadist
Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat tidak mengulangi kesalahan
tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh Himad. Di sinilah awal
Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari lahn yang
mengjengkelkan itu.
Karya Monumental Sibawaehi: “al- Kitâb”
Hampir disetiap diktat Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari al-Kitâb Sibawaehi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu selepas Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb, serasa tidak ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini bukti ketajaman dan ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.
Karya Monumental Sibawaehi: “al- Kitâb”
Hampir disetiap diktat Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari al-Kitâb Sibawaehi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu selepas Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb, serasa tidak ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini bukti ketajaman dan ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.
Al-Kitâb
Sibawaehi terdiri tiga juz dan terdapat 1500 bait syi’ir yang dimulai dari bab
kalam dan diakhiri dengan bab jer. Konon, sejarah dinamakan al-kitab ini
merupakan kumpulan tulisan Sibawaehi tentang kaidah Bahasa Arab yang lebih
dominan membahasa tentang Ilmu Nahwu. Tanpa menafikan ilmu Balaghah di
dalamnya. Kemudian setelah beliau wafat, maka para ulama bahasa membukukan
tulisan-tulisannya dengan nama yang megah: “al-Kitâb”.
Abu
Ja’far berkata, Muhammad ibn Zaid bercerita bahwasanya para pengoreksi
tulisan-tulisan Arab dan orang-orang yang ahli bahasa di negara Arab banyak
yang merujuk pada al-Kitâb Sibawaehi dan mereka berkesimpulan bahwasanya kitab
Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan pada lisan orang
arab kecuali pada tiga kata.
Adapun
salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus
senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan
sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh الله إلهنا و عبد الله أخونا ”
”.
PENUTUP
Demikianlah pemaparan singkat saya. Sibawaehi adalah seorang ulama bahasa populer yang mampu mengalahkan para ahli bahasa sebelum dan sesudah periodenya. Konon, al-Kitâb ini merupakan suatu kitab langka sampai di era modern. Isinya bukan hanya mencakup pembahasan Nahwu, melainkan bisa disebut sebagai buku “ensiklopedia” ilmu-ilmu kaidah bahasa yang konkrit.
Terlepas dari pemaparan di atas, perlu kiranya kita menyadari bahwa ilmu bahasa harus dikembangkan seiring kemajuan zaman. Usaha mengembangkan bahasa Arab di era kontemporer sekarang sudah dipelopori oleh, di antaranya: Abbas Aqqad, Syauqi Dhayf. Tidak dipungkiri lagi, bahasa Arab memang merupakan satu-satunya bahasa terkaya sedunia. Kesaksian ini terekam dalam Mu’jam karya Ibn Faris, yang menyebutkan bahwa setiap satu huruf hijaiyah memiliki arti yang bervariasi. Bahkan, misalnya, tercatat lafadz bahasa Arab yang mempunyai arti onta terdapat lebih dari 82 kata.
PENUTUP
Demikianlah pemaparan singkat saya. Sibawaehi adalah seorang ulama bahasa populer yang mampu mengalahkan para ahli bahasa sebelum dan sesudah periodenya. Konon, al-Kitâb ini merupakan suatu kitab langka sampai di era modern. Isinya bukan hanya mencakup pembahasan Nahwu, melainkan bisa disebut sebagai buku “ensiklopedia” ilmu-ilmu kaidah bahasa yang konkrit.
Terlepas dari pemaparan di atas, perlu kiranya kita menyadari bahwa ilmu bahasa harus dikembangkan seiring kemajuan zaman. Usaha mengembangkan bahasa Arab di era kontemporer sekarang sudah dipelopori oleh, di antaranya: Abbas Aqqad, Syauqi Dhayf. Tidak dipungkiri lagi, bahasa Arab memang merupakan satu-satunya bahasa terkaya sedunia. Kesaksian ini terekam dalam Mu’jam karya Ibn Faris, yang menyebutkan bahwa setiap satu huruf hijaiyah memiliki arti yang bervariasi. Bahkan, misalnya, tercatat lafadz bahasa Arab yang mempunyai arti onta terdapat lebih dari 82 kata.
Sekilas
Ilmu Nahwu
Ilmu
Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang
senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik
bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu
dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama,Ilmu Nahwu dipelajari sebagai
prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya
ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu
Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguistik bahasa
Arab).
Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah
menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat
Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir
abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap
Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang
nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu
Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az- Zamakhsyari
adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama
kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama.
Di Indonesia, tokoh-tokoh agama semisal Syekh Nawawi
Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai
penguasaan nahwu yang mendalam,bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan
lebih dari satu judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu
seperti Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal
sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu. Al-Fadlali (1986) dalam bukunya
Mara:kizud-Dira:sat an- Nahwiyyah membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara
kronologis berdasarkan kurun waktu dan peta penyebarannya. Di bagian akhir
bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut
Tabel 1. Peta Perkembangan Ilmu Nahwu
Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke
Bashrah, Mekah, Medinah
Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus 1
Marocco, Persi 2
Mesir 3
Damaskus, Haleb 4
Nejed, Yaman 5
Hulah, Eropa 6
India 7
Romawi 8
Rusia, Amerika, Afrika non-Arab 14
Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dalam peta perkembangan nahwu. Padahal bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu. Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut.
Tabel 1. Peta Perkembangan Ilmu Nahwu
Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke
Bashrah, Mekah, Medinah
Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus 1
Marocco, Persi 2
Mesir 3
Damaskus, Haleb 4
Nejed, Yaman 5
Hulah, Eropa 6
India 7
Romawi 8
Rusia, Amerika, Afrika non-Arab 14
Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dalam peta perkembangan nahwu. Padahal bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu. Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut.
(1) aliran Bashrah,
(2) aliran Kufah,
(3)aliran Baghdad
(4) aliran Andalusia, dan
(5) aliran Mesir.
Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.
(2) aliran Kufah,
(3)aliran Baghdad
(4) aliran Andalusia, dan
(5) aliran Mesir.
Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.
Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam,
Ilmu Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia
lebih banyak sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai
tujuan. Karena itu, referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang
bersifat praktis dan textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran
nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama (Islam), sementara buku-buku yang
bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu
yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan
tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai
syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy.
Sementara, buku-buku yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru
Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan
Mizanudz Dzahab karya Ibnu Hisyam kurang populer.
Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu
pada khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal
yang penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang
dinamika Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan
tumbuh toleransi yang tinggi terhadap perbedaanperbedaan yang ada. Selain itu,
karya-karya monumental para pakar Ilmu Nahwu sejak abad permulaan sampai
pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar