Periodesasi
Perkembangan Fiqih
10/22/2013
Oleh: Najwa Tsurayya
Dosen Pengampu:
Ust. Ja'far
Ma'had
Aly HIDAYATURRAHMAN
Pilang-Masaran-Sragen-Jawa
Tengah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Maka dibutuhkan undang-undang yang
bisa mengatur kehidupan manusia. maka dari itu Allah mentasyri’ agar
kehidupan manusia teratur dan rapi. Kemudian ada juga ilmu fiqih yaitu hukum-hukum
syar’i amali yang mengatur tingkah laku manusia.
Fiqih
sendiri mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sejak Rosulullah diutus, masa
khulafa'ur rosyidin, tabi'in, serta mengalami masa keemasan, dan masa
kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali. Namun disini penulis akan membahas
perkembangan fiqih sejak masa Rosulullah hingga masa imam madzhab saja.
B. Rumusan
Masalah
1.
Definisi fiqih
2.
Fiqh Masa
Rasulullah
3.
Fiqh Pada Masa Khulafa’ur
Rosyidin
4.
Fiqh Pada Masa Tabi’in
Dan Imam Madzhab
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui
Definisi fiqih
2.
Mengetahui Fiqh
Masa Rasulullah
3.
Mengetahui Fiqh
Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin
4.
Mengetahui Fiqh
Pada Masa Tabi’in Dan Imam Madzhab
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Fiqih
Secara etimologi, fiqih berasal dari kata faqaha
yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’i, ilmu
fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i
amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang
mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci. Dan secara definitif, fiqih
berarti kumpulan hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci.
B. Periodesasi
Fiqh Masa Rasulullah
Fase
ini bermula saat Allah mengutus Nabi Muhammad membawa wahyu berupa Al-Qur’an
ketika beliau sedang berada dalam gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tiga
belas tahun sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun
pada Rasulullah di Makkah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau
berada di Madinah.
Terkadang
wahyu turun kepada Rosulullah dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah
dengan makna dan lafadznya dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna
sementara lafadznya dari Rosulullah atau yang
kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua wahyu inilah
perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas
dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi:
1.
Periode Mekah
Periode
ini terhitung sejak diangkatnya Rasulullah sebagai Rasul sampai beliau hijrah
ke Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan
hukum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya
mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan
aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah Allah.
Oleh
sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan
kepada manusia atas dua perkara utama:
·
Mengokohkan
aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang
lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul,takdir Allah dan hari akhir.
·
Membentuk akhlak
manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
2.
Periode Madinah
Periode
ini berlangsung sejak Rasulullah hijrah dari mekkah hingga beliau wafat.
Periode ini berjalan selama 10 tahun.
Pada periode
Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh
persoalan hukum diturunkan Allah, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun
muamalah.
Secara umum,
semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepada para mukallaf turun
pada periode ini kecuali hanya sedikit, seperti hukum sholat yang diturunkan
pada waktu malam isra’ mi’raj satu tahun sebelum Rosulullah hijrah ke Madinah.
Terkadang
wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah dengan
makna dan lafadznya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna
sementara lafadznya dari Nabi atau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk
hadits. Dengan dua wahyu inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan
ditentukan.
1) Sumber
Hukum Pada Periode Rasulullah
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Rosulullah yang sampai kepada kita secara mutawatir, membacanya termasuk
ibadah, tidak ada tandingan walaaupun surat terpendek sekalipun, ditulis di
dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat
An-Naas.
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah
sekaligus,namun Al-Qur’an turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan
kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an
bersifat kulli (umum), demikian pula
dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu
jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhânni
yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih
terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal
asy-syakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah
adalah sumber tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an. As-Sunnah berfungsi menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan
cara-caranya dalam As-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi
hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan
Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah
sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika
menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan
kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi
perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada
diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Rasulullah
apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum,
beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan
berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama
sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh
Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan
diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Al-Anfal: 67)
dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (At-Taubah
: 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu
benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan
hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
3.
Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada
zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga
dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para
sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering
bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang
diutus ke Yaman. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada
zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri.
Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah
mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir
yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk
menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan
bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.
Ijtihad
Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan
hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara beristinbath (penetapan hukum) dan memberi latihan
kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli,
agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada
padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada
prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan As-Sunnah”.
Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah,
sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada
generasi sesudahnya, dalam Hadits
dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila
berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
C. Periodesasi
Fiqh Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin ( 11 H -40 H)
Fase
ini bermula sejak wafatnya Rosulullah, kaum muhajirin dan anshar sempat
berselisih dalam penetatapan kholifah.
Perselisihan ini berakhir ketika ditengahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan
beliau dibai’at oleh kaum muslimin.
Pada
masa Abu Bakar disibukkan denga memerangi kaum murtaddin baik karena menolak
untuk membayar zakat atau mengaku sebagai nabi. Kemudian dilanjutkan oleh kholifah Umar bin Khothob yang disibukkan oleh
perluasan daulah islamiyah. Berlanjut dengan kholifah Utsman bin Affan dan
kholifah Ali bin Abi Tholib pada masa itulah mulai muncul fitnah dan
golongan-golangan penetang kholifah. Fase ini berakhir setelah wafatnya kholifah Ali bin Abi Tholib.
1)
Sumber Fiqih
Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin
Sumber
Fiqih Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin ada empat:
a.
Al-Qur’an
b.
As-Sunnah
c.
Ijma’
d.
Qiyas
Empat
hal di atas didasarkan dengan perkatan Abdullah bin Abi Yazid:
“Aku melihat Ibnu Abbas
jika ditanya tentang sesuatu dan hal itu ada di dalam Al-Qur’an maka ia
berpedapat dengannya. Jika dia tidak mendapatinya maka dia memakai perkataan
Rosulullah, jika tidak mendapatinya di keduanya maka dia memakai perkataan Abu
Bakar atau Umar, jika tidak mendapatinya maka dia berijtihad dengan
pendapatnya.”
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Al-Qur’an di zaman Nabi Saw belumlah dihimpun menjadi
satu, sebab Nabi belum memerintahkanya dan menjaga apabila turun wahyu lagi
yang akan diterimanya. Setelah Rasulullah saw wafat. Estafet dakwah dilanjutkan
oleh para Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini, pengumpulan dilakukan dalam
dua periode, yaitu : Abu Bakar Ash- Siddiq dan Utsman bin Affan.
a)
Pembukuan Al-Qur’an
Pada Masa Abu Bakar
Kaum
muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar Al- Siddiq sebagai
khalifah sepeninggalan Nabi Saw. Pada awal masa pemerintahan Abu Bakar, terjadi
kekacauan akibat ulah Musailamah al- Kazzab beserta pengikut- pengikutnya.
Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari islam. Pasukan yang dipimpin
Khalid bin Walid segera menumpas gerakan ini. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah
tahun 12 H. Akibatnya banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang
diyakini telah hafal Al-Qur’an.
Kejadian
tersebut dikritisi oleh Umar bin Khattab. Ia khawatir peristiwa yang serupa
akan terulang kembali. Sehingga semakin banyak golongan huffadz yang gugur.
Bila demikian,”masa depan” Al-Qur’an menjadi terancam. Maka muncul ide kreatif Umar yang disampaikan
kepada Abu Bakar Al- Siddiq untuk segera mengumpulkan tulisan- tulisan Al-Qur’an
yang pernah ditulis pada masa Rosulullah.
Semula
Abu Bakar keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar berhasil meyakinkanya. Maka
dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka
merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Tsabit pun merasa
keberatan, akan tetapi dapat pula diyakinkan. Abu Bakar memerintahkan Zaid bi
Tsabit, melihat kedudukanya dalam masalah qiraat, hafalan, penulisan, pemahaman
dan kecerdasanya serta kehadiranya pada pembacaan yang terakhir kali. Zaid bin
Tsabit memulai dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra’dan
catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran itu disimpan abu
Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran- lembaran itu berpindah ke
tangan Umar selaku khalifah kedua dan tetap berada di tanganya hingga ia wafat.
Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah, puteri Umar.
Dari
rekaman sejarah diatas, maka dapat diketahui bahwa Abu Bakar Al- shiddiq adalah
orang pertama yang memerintahkan penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khatab adalah
pelontar idenya, serta Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan
kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan sekaligus menghimpunya kedalam
satu mushaf.
Adapun
karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini [19] adalah :
1)
Seluruh ayat Al-Qur’an
dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat
dan seksama.
2)
Meniadakan ayat-
ayat yang telah mansukh.
3)
Seluruh ayat
yang ada telah diakui kemutawatiranya.
4)
Dialek arab yang
dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qiraat) sebagaimana yang dinukil
berdasar riwayat yang benar- benar sahih.
Demikianlah
singkatnya riwayat Al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah
naskah. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 11 H.
b) Pembukuan
Al-Qur’an Pada Masa Utsman bin Affan.
Latar
belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman ra berbeda dengan faktor yang
ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan
pada masa Utsman telah meluas dan daerah- daerah islam telah terpencar
di berbagai daerah dan kota. Disetiap daerah telah populer bacaan sahabat yang
mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay bin
Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud, dan sebagian yang
lain mengikuti bacaan Abu Musa Al- ‘Asyari. Diantara mereka terdapat perbedaan
tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu
pertikaian dan perpecahan antar sesama [20]. Ketika penyerbuan Armenia dan
Azerbaijan dari penduduk Irak, termasuk Hudzaifah bin Al- Yaman. Ia melihat
banyak perbedaan dalam cara- cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu
bercampur dengan ketidakfasihan, masing- masing mempertahankan dan berpegang
pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya dan puncaknya
mereka saling mengkafirkan.
Setelah
kejadian tersebut, Utsman dengan kebenaran pandanganya bermaksud untuk
melakukan tindakan pencegahan. Ia mengumpulkan sahabat- sahabat yang terkemuka
dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah
(perpecahan) dan perselisihan. Mereka sepakat untuk menyalin dan memperbanyak
mushaf kemudian mengirimkanya ke segenap daerah dan kota. Ia menugaskan kepada
empat orang sahabat pilihan, yang hafalanya dapat diandalkan, yaitu Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said ibn Al- Ash dan Abdurrahman ibn Hisyam.
Mereka semua dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit yang
berasal dari kaum Ansor.
Pelaksanaan
gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun 24 hijrah. Utsman mengatakan kepada
mereka,”Bila anda sekalian menemui perselisihan pendapat tentang bacaan maka
tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al- Quran diturunkan dengan bahasa
Quraisy,” Utsman meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar
dan memerintahkan keempat orang sahabat tersebut untuk menyalinya dan
memperbanyaknya.
Setelah
mereka selesai menyalin, naskah Hafsah tadi dikembalikan, dan salinan itu
dijadikan 5 buah naskah, ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah naskah
mushaf Al-Qur’an tersebut oleh Utsman lalu dikirimkan sebuah ke Makkah, sebuah
ke Syam, sebuah ke Kuffah, sebuah ke Basrah, dan sebuah disimpan oleh beliau.
Mushaf inilah yang sampai sekarang kita kenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.
Perbedaan Antara Mushaf Abu Bakar Dan Mushaf Utsman
Perbedaan antara pengumpulan (mushaf) Abu Bakar dan Utsman adalah sebagai berikut. Pengumpulan mushaf
pada mada Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisanya Al- Qur’an kedalam
satu mushaf yang ayat- ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang
terkumpul pada kepingan- kepingan batu, pelepah kurma dan kulit- kulit
binatang. Adapu latar belakangnya karena banyaknya Huffadz yang gugur.
Sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf
yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan untuk dikirimkan ke
seluruh negara islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an
Fuqoha’ Pada Masa
Sahabat
Diantara
sahabat yang terkenal faqih adalah:
a)
Umar bin Khotob
b)
Ali bin Abi
Tholib
c)
Abdullah bin
Mas’ud
d)
Aisyah binti Abu
Bakar
e)
Zaid bin Tsabit
f)
Abdullah bin
Abbas
g)
Abdullah bin
Umar
D.
Periodesasi Fiqh
Pada Masa Tabi’in
Periode
ini terjadi kurang lebih pada abad II H. setelah berakhir masa shahabat, muncul
masa Tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat.
Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para shahabat. Secara garis
besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a)
Mereka
mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan
kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat.
Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b)
Mereka sendiri
berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam
sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.
Kegiatan
melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan
menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki
mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan
ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha bin Abi
Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah
muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Golongan
jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:
1)
Ahlul Ra’yi
Golongan
ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan
pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
a.
Nash-nash
syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan
senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak
ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin
Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
b.
Setiap hukum
syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu.
Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad
merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya,
atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam
periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam
perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan
imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad bin Hambal. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan
A’immah Al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
2.
Ahlul Hadits
Golongan
ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama
sangat terikat kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan suatu
masalah dan berpaling pada praktik dan pendapat shahabat bila tidak ditemukan
dalil dari keduanya. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat
terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat
untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh
golongan ini yang terkenal ialah Imam Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh
Imam Al-Zuhry, Imam Al-Tsaury, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal
dan Imam Dawud Al-Zhawahiry.
Al-Madzaahib Al-Arba’ah
a.
Imam Malik
Lengkapnya
Malik ibn Anas bin Malik bin ‘Amr al-Asbahi atau Malik bin Anas. Lahir di
Madinah pada tahun 93 H (714 M). Dan wafat pada tahun 179 H ( 800 M). Beliau
adalah pakar dibidang fikih dan ilmu hadis, merupakan pendiri mazhab Maliki.
Fikih yang beliau kembangkan bersandar pada penggunaan hadis dan kebiasaan
penduduk madinah.
Dasar-dasar mazhab Maliki
diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu: :
·
Nashul Kitab
·
Dzaahirul Kitab
·
Dalilul Kitab
·
Mafhum muwafaqah
·
Tanbihul Kitab,
terhadap illat
·
Nash-nash Sunnah
·
Dzahirus Sunnah
·
Dalilus Sunnah
·
Mafhum Sunnah
·
Tanbihus Sunnah
·
Ijma’
·
Qiyas
·
Amalu Ahlil
Madinah
·
Qaul Shahabi
·
Istihsan
·
Muraa’atul
Khilaaf
·
Saddud Dzaraa’i.
Kitab
yang disusun oleh beliau adalah Al Muwaththa’. Memuat seratus ribu ( 100.000)
hadis. Yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan dari Yahya bin Yahyah al
Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Diantara
guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az
Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar,
dll.
Diantara
murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu
Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury,
Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan
lain-lain.
b. Imam
Abu Hanifah
Imam
Ahlur Ra’yi. Karena penggunaan rasio yang bebas dalam Mazhabnya. Hadis yang
digunakan diseleksi dengan ketat. Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit
bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lahir di Kufah, Iraq pada 80 H (699 M), meninggal
di Baghdad pada 148 H (767 M), merupakan pendiri Mazhab Hanafi.
Imam
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok yaitu:
§ Al
Kitab.
§ As
Sunnah.
§ Perkataan
para Sahabat.
§ Al
Qiyas.
§ Al
Istihsan.
§ 6.
Ijma’ dan ‘Urf.
Imam
Abu Hanifah adalah seorang Tabiin. Pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan
meriwayatkan hadis darinya. Beliau disebut sebagai tokoh pertama yang
menuliskan kitab fikih.
Diantara
gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, dan Nafi’ maula
Ibnu Umar.
Diantara muridnya
adalah Abu Yusuf bin Ibrahim Al Anshari, Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi,
Muhammad bin Hasan bin farqad as Syaibani, Hasan bin Ziyad, dan lain-lain.
c.
Imam Syafi’i
Muhammad
bin Idris asy-Syafi`i, lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M) dan wafat di
Mesir pada 204 H ( 819 M ). Beliau adalah pendiri Mazhab Syafi’i yang moderat.
Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul Fiqh. Mazhab Syafi’i memiliki dua (2)
dasar yaitu, Qadim dan Jadid.
Dasar-dasar
atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum adalah :
§ Al
Kitab.
§ Sunnah
Mutawatirah.
§ Al
Ijma’.
§ Khabar
Ahad.
§ Al
Qiyas.
§ Al
Istishab.
Beliau
adalah salah seorang murid dari Imam Malik di Madinah dan murid dari Muslim bin
khalid az Zanji di Makkah. Dan juga sempat menimba ilmu di Iraq dari murid Imam
Abu Hanifah. Diantara kitab yang beliau tulis adalah Ar Risalah, Al Hujjah, dan
Al Umm.
Diantara
para muridnya adalah Ahmad Bin Alhajjaj Al Marwazy, Ahmad Bin Kholid AlKhilal
Al Baghdady, Ahmad Bin Sa’id Bin Basyir Al hamdzani, Ahmad Bin Sinan Al
Qoththon, Ahmad Bin sholihAl Mishry abu Ja’far Aththobary, Ahmad Bin As-Shobah
Bin Abi Suraij Arroozy, Ahmad Bin abdullah Al Makky Al Muqry, dan lain-lain.
d.
Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat
tahun 241 H. Beliau adalah pendiri Mazhab Hambali. Mengumpulkan sebanyak 40.000
hadis dalam kitab musnadnya. Dasar-dasar fatwa beliau terdapat dalam kitabnya
I’laamul Muwaaqi’in.
Adapun dasar-dasar
mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
§ Nash
Al Qur-an atau nash hadits.
§ Fatwa
sebagian Sahabat.
§ Pendapat
sebagian Sahabat.
§ Hadits
Mursal atau Hadits Dhoif.
§ Qiyas.
Diantara
para gurunya adalah Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al Ataky, Umari bin
Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar as Sulami, Imam
Syafi’i, dan lain-lain.
Diantara
murid beliau adalah Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu
Majah, Imam Syafi’i, dan lain-lain.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Fiqih islam memiliki periode perkembangan dari
masa ke masa, jika dirinci maka fiqih islam dimulai sejak Rosulullah diutus,
kemudian masa khulafa'ur rosyidin, tabi'in, serta mengalami masa
keemasan, dan masa kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali. Wallahu
a'lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar