Kamis, 05 Desember 2013

Makalah Tarikh Tasyri'



Periodesasi Perkembangan Fiqih

10/22/2013

Oleh: Najwa Tsurayya

Dosen Pengampu: Ust. Ja'far


Ma'had Aly HIDAYATURRAHMAN

Pilang-Masaran-Sragen-Jawa Tengah
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Maka dibutuhkan undang-undang yang bisa mengatur kehidupan manusia. maka dari itu Allah mentasyri’ agar kehidupan manusia teratur dan rapi. Kemudian ada juga ilmu fiqih yaitu hukum-hukum syar’i amali yang mengatur tingkah laku manusia.
Fiqih sendiri mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sejak Rosulullah diutus, masa khulafa'ur rosyidin, tabi'in, serta mengalami masa keemasan, dan masa kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali. Namun disini penulis akan membahas perkembangan fiqih sejak masa Rosulullah hingga masa imam madzhab saja.
B.   Rumusan Masalah
1.      Definisi fiqih
2.      Fiqh Masa Rasulullah
3.      Fiqh Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin
4.      Fiqh Pada Masa Tabi’in Dan Imam Madzhab
C.   Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui Definisi fiqih
2.      Mengetahui Fiqh Masa Rasulullah
3.      Mengetahui Fiqh Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin
4.      Mengetahui Fiqh Pada Masa Tabi’in Dan Imam Madzhab

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Fiqih
Secara etimologi, fiqih berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’i, ilmu fiqih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci. Dan secara definitif, fiqih berarti kumpulan hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci.
B.       Periodesasi Fiqh Masa Rasulullah
Fase ini bermula saat Allah mengutus Nabi Muhammad membawa wahyu berupa Al-Qur’an ketika beliau sedang berada dalam gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tiga belas tahun sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada Rasulullah di Makkah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Rosulullah dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafadznya dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafadznya dari Rosulullah atau yang  kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua wahyu inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi:
1.      Periode Mekah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya Rasulullah sebagai Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia  atas dua perkara utama:
·         Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul,takdir Allah dan hari akhir.
·         Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.

2.    Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak Rasulullah hijrah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.
Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
Secara umum, semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepada para mukallaf turun pada periode ini kecuali hanya sedikit, seperti hukum sholat yang diturunkan pada waktu malam isra’ mi’raj satu tahun sebelum Rosulullah hijrah ke Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafadznya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafadznya dari Nabi atau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua wahyu inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.

1)     Sumber Hukum Pada Periode Rasulullah
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rosulullah yang sampai kepada kita secara mutawatir, membacanya termasuk ibadah, tidak ada tandingan walaaupun surat terpendek sekalipun, ditulis di dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus,namun Al-Qur’an turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat  kulli (umum), demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhânni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal asy-syakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
2.      As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an. As-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam As-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
3.    Ijtihad Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara beristinbath (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan As-Sunnah”.
 Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadits dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
C.  Periodesasi Fiqh Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin ( 11 H -40 H)
Fase ini bermula sejak wafatnya Rosulullah, kaum muhajirin dan anshar sempat berselisih dalam  penetatapan kholifah. Perselisihan ini berakhir ketika ditengahi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan beliau dibai’at oleh kaum muslimin.
Pada masa Abu Bakar disibukkan denga memerangi kaum murtaddin baik karena menolak untuk membayar zakat atau mengaku sebagai nabi. Kemudian dilanjutkan oleh  kholifah Umar bin Khothob yang disibukkan oleh perluasan daulah islamiyah. Berlanjut dengan kholifah Utsman bin Affan dan kholifah Ali bin Abi Tholib pada masa itulah mulai muncul fitnah dan golongan-golangan penetang kholifah. Fase ini berakhir setelah  wafatnya kholifah Ali bin Abi Tholib.
1)                  Sumber Fiqih Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin
Sumber Fiqih Pada Masa Khulafa’ur Rosyidin ada empat:
a.                   Al-Qur’an
b.                  As-Sunnah
c.                   Ijma’
d.                  Qiyas
Empat hal di atas didasarkan dengan perkatan Abdullah bin Abi Yazid:
“Aku melihat Ibnu Abbas jika ditanya tentang sesuatu dan hal itu ada di dalam Al-Qur’an maka ia berpedapat dengannya. Jika dia tidak mendapatinya maka dia memakai perkataan Rosulullah, jika tidak mendapatinya di keduanya maka dia memakai perkataan Abu Bakar atau Umar, jika tidak mendapatinya maka dia berijtihad dengan pendapatnya.”
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Al-Qur’an di zaman Nabi Saw belumlah dihimpun menjadi satu, sebab Nabi belum memerintahkanya dan menjaga apabila turun wahyu lagi yang akan diterimanya. Setelah Rasulullah saw wafat. Estafet dakwah dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini, pengumpulan dilakukan dalam dua periode, yaitu : Abu Bakar Ash- Siddiq dan Utsman bin Affan.
a)      Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar Al- Siddiq sebagai khalifah sepeninggalan Nabi Saw. Pada awal masa pemerintahan Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al- Kazzab beserta pengikut- pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari islam. Pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid segera menumpas gerakan ini. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal Al-Qur’an.
Kejadian tersebut dikritisi oleh Umar bin Khattab. Ia khawatir peristiwa yang serupa akan terulang kembali. Sehingga semakin banyak golongan huffadz yang gugur. Bila demikian,”masa depan” Al-Qur’an menjadi terancam.  Maka muncul ide kreatif Umar yang disampaikan kepada Abu Bakar Al- Siddiq untuk segera mengumpulkan tulisan- tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rosulullah.
Semula Abu Bakar keberatan atas usul Umar. Tetapi Umar berhasil meyakinkanya. Maka dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Tsabit pun merasa keberatan, akan tetapi dapat pula diyakinkan. Abu Bakar memerintahkan Zaid bi Tsabit, melihat kedudukanya dalam masalah qiraat, hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasanya serta kehadiranya pada pembacaan yang terakhir kali. Zaid bin Tsabit memulai dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra’dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran itu disimpan abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran- lembaran itu berpindah ke tangan Umar selaku khalifah kedua dan tetap berada di tanganya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke tangan Hafsah, puteri Umar.
Dari rekaman sejarah diatas, maka dapat diketahui bahwa Abu Bakar Al- shiddiq adalah orang pertama yang memerintahkan penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khatab adalah pelontar idenya, serta Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan sekaligus menghimpunya kedalam satu mushaf.
Adapun karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini [19] adalah :
1)      Seluruh ayat Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2)      Meniadakan ayat- ayat yang telah mansukh.
3)      Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatiranya.
4)      Dialek arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qiraat) sebagaimana yang dinukil berdasar riwayat yang benar- benar sahih.
Demikianlah singkatnya riwayat Al-Qur’an ketika dikumpulkan dan dihimpun menjadi sebuah naskah. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 11 H.

b)   Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Utsman bin Affan.
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman ra berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan  pada masa Utsman telah meluas dan daerah- daerah islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Disetiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al- ‘Asyari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antar sesama [20]. Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijan dari penduduk Irak, termasuk Hudzaifah bin Al- Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara- cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan, masing- masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaanya dan puncaknya mereka saling mengkafirkan.
Setelah kejadian tersebut, Utsman dengan kebenaran pandanganya bermaksud untuk melakukan tindakan pencegahan. Ia mengumpulkan sahabat- sahabat yang terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan. Mereka sepakat untuk menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkanya ke segenap daerah dan kota. Ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, yang hafalanya dapat diandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said ibn Al- Ash dan Abdurrahman ibn Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit yang berasal dari kaum Ansor.
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun 24 hijrah. Utsman mengatakan kepada mereka,”Bila anda sekalian menemui perselisihan pendapat tentang bacaan maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al- Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy,” Utsman meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar dan memerintahkan keempat orang sahabat tersebut untuk menyalinya dan memperbanyaknya.
Setelah mereka selesai menyalin, naskah Hafsah tadi dikembalikan, dan salinan itu dijadikan 5 buah naskah, ini menurut riwayat yang masyhur. Lima buah naskah mushaf Al-Qur’an tersebut oleh Utsman lalu dikirimkan sebuah ke Makkah, sebuah ke Syam, sebuah ke Kuffah, sebuah ke Basrah, dan sebuah disimpan oleh beliau. Mushaf inilah yang sampai sekarang kita kenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.
Perbedaan Antara Mushaf Abu Bakar Dan Mushaf Utsman
Perbedaan antara pengumpulan (mushaf) Abu Bakar dan Utsman adalah sebagai berikut. Pengumpulan mushaf pada mada Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisanya Al- Qur’an kedalam satu mushaf yang ayat- ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan- kepingan batu, pelepah kurma dan kulit- kulit binatang. Adapu latar belakangnya karena banyaknya Huffadz yang gugur. Sedangkan pengumpulan mushaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara islam. Latar belakangnya adalah perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an
Fuqoha’ Pada Masa Sahabat
Diantara sahabat yang terkenal faqih adalah:
a)      Umar bin Khotob
b)      Ali bin Abi Tholib
c)      Abdullah bin Mas’ud
d)     Aisyah binti Abu Bakar
e)      Zaid bin Tsabit
f)       Abdullah bin Abbas
g)      Abdullah bin Umar
D.       Periodesasi Fiqh Pada Masa Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H. setelah berakhir masa shahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a)    Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b)        Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha bin Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Golongan jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:
1)       Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
a.       Nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
b.      Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah Al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
2. Ahlul Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan suatu masalah dan berpaling pada praktik dan pendapat shahabat bila tidak ditemukan dalil dari keduanya. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Imam Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh Imam Al-Zuhry, Imam Al-Tsaury, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Dawud Al-Zhawahiry.
Al-Madzaahib Al-Arba’ah
a.       Imam Malik
Lengkapnya Malik ibn Anas bin Malik bin ‘Amr al-Asbahi atau Malik bin Anas. Lahir di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Dan wafat pada tahun 179 H ( 800 M). Beliau adalah pakar dibidang fikih dan ilmu hadis, merupakan pendiri mazhab Maliki. Fikih yang beliau kembangkan bersandar pada penggunaan hadis dan kebiasaan penduduk madinah.
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu: :
·         Nashul Kitab
·         Dzaahirul Kitab
·         Dalilul Kitab
·         Mafhum muwafaqah
·         Tanbihul Kitab, terhadap illat
·         Nash-nash Sunnah
·         Dzahirus Sunnah
·         Dalilus Sunnah
·         Mafhum Sunnah
·         Tanbihus Sunnah
·         Ijma’
·         Qiyas
·         Amalu Ahlil Madinah
·         Qaul Shahabi
·         Istihsan
·         Muraa’atul Khilaaf
·         Saddud Dzaraa’i.
Kitab yang disusun oleh beliau adalah Al Muwaththa’. Memuat seratus ribu ( 100.000) hadis. Yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Diantara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dll.
Diantara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim, Al Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
b. Imam Abu Hanifah
Imam Ahlur Ra’yi. Karena penggunaan rasio yang bebas dalam Mazhabnya. Hadis yang digunakan diseleksi dengan ketat. Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lahir di Kufah, Iraq pada 80 H (699 M), meninggal di Baghdad pada 148 H (767 M), merupakan pendiri Mazhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok yaitu:
§  Al Kitab.
§  As Sunnah.
§  Perkataan para Sahabat.
§  Al Qiyas.
§  Al Istihsan.
§  6. Ijma’ dan ‘Urf.
Imam Abu Hanifah adalah seorang Tabiin. Pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis darinya. Beliau disebut sebagai tokoh pertama yang menuliskan kitab fikih.
Diantara gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, dan Nafi’ maula Ibnu Umar.
Diantara muridnya adalah Abu Yusuf bin Ibrahim Al Anshari, Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi, Muhammad bin Hasan bin farqad as Syaibani, Hasan bin Ziyad, dan lain-lain.
c.       Imam Syafi’i
Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada 204 H ( 819 M ). Beliau adalah pendiri Mazhab Syafi’i yang moderat. Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul Fiqh. Mazhab Syafi’i memiliki dua (2) dasar yaitu, Qadim dan Jadid.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum adalah :
§  Al Kitab.
§  Sunnah Mutawatirah.
§  Al Ijma’.
§  Khabar Ahad.
§  Al Qiyas.
§  Al Istishab.
Beliau adalah salah seorang murid dari Imam Malik di Madinah dan murid dari Muslim bin khalid az Zanji di Makkah. Dan juga sempat menimba ilmu di Iraq dari murid Imam Abu Hanifah. Diantara kitab yang beliau tulis adalah Ar Risalah, Al Hujjah, dan Al Umm.
Diantara para muridnya adalah Ahmad Bin Alhajjaj Al Marwazy, Ahmad Bin Kholid AlKhilal Al Baghdady, Ahmad Bin Sa’id Bin Basyir Al hamdzani, Ahmad Bin Sinan Al Qoththon, Ahmad Bin sholihAl Mishry abu Ja’far Aththobary, Ahmad Bin As-Shobah Bin Abi Suraij Arroozy, Ahmad Bin abdullah Al Makky Al Muqry, dan lain-lain.
d.      Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Beliau adalah pendiri Mazhab Hambali. Mengumpulkan sebanyak 40.000 hadis dalam kitab musnadnya. Dasar-dasar fatwa beliau terdapat dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
§  Nash Al Qur-an atau nash hadits.
§  Fatwa sebagian Sahabat.
§  Pendapat sebagian Sahabat.
§  Hadits Mursal atau Hadits Dhoif.
§  Qiyas.
Diantara para gurunya adalah Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar as Sulami, Imam Syafi’i, dan lain-lain.
Diantara murid beliau adalah Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Syafi’i, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Fiqih islam memiliki periode perkembangan dari masa ke masa, jika dirinci maka fiqih islam dimulai sejak Rosulullah diutus, kemudian masa khulafa'ur rosyidin, tabi'in, serta mengalami masa keemasan, dan masa kemunduran, sampai kemudian bangkit kembali. Wallahu a'lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar