Kamis, 19 Desember 2013

Benarkah Ada Ayat Natal Dalam Al-Qur'an?



Umat Islam yang tidak ikut merayakan hari Natal berarti tidak menghormati Nabi Isa,” cetus seorang tokoh masyarakat. Menurutnya dalam al-Quran terdapat ayat natal!
Ungkapan tersebut diperkuat oleh pakar komunikasi yang dekat dengan negara Iran. Menurutnya mengucapkan selamat natal, bahkan merayakan natalan, mempunyai dalil dalam al-Qur’an. Pria tengah baya ini menunjuk sebuah ayat yang terdapat dalam surat Maryam.
Ayat Natal dan Natalan?
Ayat yang dimaksud tokoh yang pernah getol menyuarakan paham Syi’ah tersebut adalah ayat 33 dari surat Maryam.
Artinya:“Kesejahteraan atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
Kyai yang sangat gusar ketika ditanya selesai atau tidak saat kuliah S-1 dalam bidang bahasa itu mengemukakan bahwa wulidtu (aku dilahirkan) menunjukkan kata keselamatan saat lahir. Maulid atau lahir kalau dalam bahasa Latin adalah natal. Jadi perayaan natal Yesus (dalam bahasa Arab disebut ‘Isa), imbuhnya, disebutkan dalam al-Qur’an. Kalau bahasa orang umum disebut harlah (hari kelahiran).
Beberapa dekade terakhir memang berkembang budaya melakukan perayaan natal bersama.Salah satu alasannnya adalah demi toleransi yang akan menciptakan kerukunan umat beragama. Disamping dengan begitu mereka merasa telah menghormati Nabi ‘Isa. Bukankah sebagai Muslim harus mengimani Nabi Isa, kilah mereka.
Pemikiran ini kemudian diusung dan dikembangkan oleh sekelompok anak muda yang bergabung dalam JIL. Dengan dukungan dana yang besar pemikiran tersebut kerap dijajakan lewat seminar dan situs internet. Kelompok yang mengklaim sebagai pengusung pemikiran kritis ini merasa perlu mati-matian untuk melegalkan natalan bagi umat Islam, apalagi sekadar mengucapkan selamat hari Natal. Kritiskah mereka dalam hal ini?
Sebelum menginjak pada bahasan lebih lanjut mungkin perlu ditinjau istilah kata natal. Natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Secara istilah Natal berarti upacara yang dilakukan oleh orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Yesus yang mereka kultuskan sebagai Tuhan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional terbitan Balai Pustaka, Upacara Natal pengertiannya: memperingati dan menghayati hari kelahiran Yesus Kristus. Yesus adalah sebutan dalam agama Nasrani dan dalam agama Islam dikenal sebagai ‘Isa. Dalam Islam, ‘Isa ‘alaihis salam diyakini sebagai Nabi yang menyampaikan Injil.
 Disebut dalam al-Quran; Artinya: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Ia telah beri kepadaku Kitab dan Ia telah jadikan aku Nabi.” (Maryam:30)
Betul memang dalam surat Maryam disebutkan ayat yang berbicara tentang natal, dalam artian bahasa sebagai kelahiran. Sementara adanya anggapan bahwa ayat tersebut merupakan ayat natal yang berarti menganjurkan untuk memperingati hari kelahiran seseorang (adalah merupakan sesuatu yang) terlalu gegabah dan ngawur.
Bukan Sekadar Otak-Atik Bahasa
Tidak bisa dipungkiri bahwa al- Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab. Orang Arab saja belum tentu pas dalam memahami isinya, apalagi orang non-Arab. Untuk pas dalam memahami makna ayat- ayatnya itulah dibutuhkan sebuah tafsir. Tujuan tafsir sendiri membantu seseorang mengetahui arti, makna, dan maksud sebuah ayat sebagaiman Allah kehendaki. Karena memang al-Qur’an berasal dari-Nya. Karena disampaikan kepada manusia melalui lisan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliaulah yang paling paham terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan begitu mengambil penafsiran adalah yang selalu merujuk kepada penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang memahami tafsir semacam ini tentunya orang (yang) mempelajari ilmu tafsir dengan baik. Mereka tidak cukup berbekal kemampuan berbahasa Arab, namun juga dasar-dasar ilmu tafsir di samping juga ilmu hadits. Tafsir memang bukan sekadar otak-atik bahasa dan kata.
Salah satu mufassir (ulama ahli tafsir) yang terkenal adalah Abu Fida Ismail Ibnu Katsir. Apa komentar beliau tentang ayat ke-33 surat Maryam di muka?
Merupakan penetapan dari Nabi Isa ‘alaihis salam tentang penghambaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau hanyalah makhluk sebagaimana makhluk Allah yang lain. Beliau hidup lalu mati dan akan dibangkitkan kembali sebagaimana makhluk pada umumnya. Akan tetapi beliau diberikan keselamatan oleh Allah (dari semua kejelekan dan bahaya) pada semua tahapan kehidupan beliau.1
Mengapa Harus Taklid?
Seorang Muslim dalam kondisi tertentu memang diperbolehkan untuk taklid, tentu taklid kepada ulama. Sudah terlalu tua sehingga tidak mempunyai kemampuan, baik kemampuan intelektualitas maupun fisik, untuk memahami dalil yang dijadikan rujukan para ulama, misalnya. Ironisnya banyak kaum muda Muslim yang justru mentah-mentah taklid kepada orang kafir. Bukan kepada ulama, sekali lagi kepada orang kafir. Biasanya menyikapi ulama selalu berlawanan, misalnya ulama mengatakan angka 1 adalah 1, mereka mengatakan bahwa angka 1 bisa jadi bernilai 2. Giliran ada tokoh agama kafir mengata- kan bahwa huruf A bisa dibaca B pun mereka menurut 100%, tanpa koreksi sedikitpun!
Mirip dengan tradisi perayaan natal. Kalau benar bahwa natal memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam. ‘Isa dalam pandangan kaum Muslimin berbeda dengan Yesus dalam pandangan mereka. Yesus mereka anggap sebagai anak Tuhan, dan ini merupakan syirik besar, sementara ‘Isa adalah anak manusia. Akankah kita ikut memperingati kelahiran kesyirikan?! Begitu mudahkah seorang anak muda Muslim yang berjiwa sehat ikut- ikutan? Kalau memang natal sekadar memperingati kelahiran ‘Isa bin Maryam sebagai manusia dan Nabi, sejak kapan para Nabi merayakan ulang tahunnya? Tidak dikenal perayaan natal Nabi Yahya, yang tersebut dalam surat Maryam ayat 15. Ayatnya mirip hanya berbeda kata ganti. Catatan Bible juga tidak menyebutkan secuil bukti adanya perayaan natal di zamannya. Justru sejarah mencatat natal baru dikenal pada tahun 300-an, sebagai adopsi tradisi budaya syirik Romawi. Tanggal 25 Desember lebih jelas sejarahnya sebagai hari peringatan Dewa Matahari (Sol Invictus). Muhammad sebagai Nabi terakhirpun tidak pernah memperingati hari kelahirannya sendiri, natal pun tak pernah ikut apalagi menganjurkan, padahal natal sudah dikenal di zaman beliau. Kalau seandainya perlu merayakan hari lahir, pantaskah seorang Muslim yang cerdas memperingati sesuatu yang hari tanggalnya saja tidak jelas. Berbagai literatur mencatat bahwa ‘Isa lahir di Palestina dalam kondisi musim panas. Kenapa kini jadi tanggal 25 Desember yang masuk dalam musim dingin? Masihkah kita menggunakan sedikit akal sehat kita? Kenapa sebagai Muslim harus mati-matian, hingga memutarbalikkan makna ayat demi melegalkan perayaan natal bersama? Bahkan rela pasang badan untuk mencarikan dalil bagi orang-orang yang menyekutukan Allah. Apa yang diperoleh dengan langkah-langkah tersebut? Yang jelas bukan aliran pahala dari Allah, paling banter aliran dana dari pihak-pihak tertentu.
Kenapa harus mengorbankan akidah umat, sekadar untuk mendapatkan sesuatu yang sepele? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan sejati telah memberi peringatan agar menjauhi tempat perayaan orang kafir.
Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi menanyakan kepadanya (yang artinya); ‘Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Beliau bertanya; ‘Apakah disana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka?’ Dia menjawab; ‘Tidak.’ Maka Nabi bersabda; ‘Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim)
Pesan Ulama Kita
Banyak ulama yang berpesan agar umat Islam tidak terlarut dalam perayaan hari raya orang kafir. Ibnul-Qayyim rahimahullah menyatakan; “Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri perayaan hari raya kaum musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak memberikan fatwa. Para ulama fikih dari madzhab yang empat sudah menegaskan hal itu dalam buku-buku mereka. Imam al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah berkata: “Janganlah menemui orang- orang musyrik di gereja-gereja mereka pada hari raya mereka. Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara mereka.” Umar juga pernah berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah itu pada hari raya mereka.” Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari ‘Abdullah bin Amru Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah berkata; “Barangsiapa lewat di negeri non-Arab, yang sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkit- kan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.2

Dalam kitabnya, “Iqtidla ‘ash-Shirathil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhaabil-Jahim,” Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan; “Ijtanibuu a’daa’allaahi fii ‘idihim.” (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).
Kaum non-Muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma sahabat dan disepakati jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan natal bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masyarakat Muslim– adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka.” Akankah kita menuruti arahan sekelompok Muslim yang taklid kepada tokoh kafir atau kepada Umar yang betul-betul cerdas alim dan setia pada Rasulullah dan risalahnya?
Catatan Kaki:
1.                  ^ Tafsir al-Quranul-Azhim Ibnu Katsir, juz 3, halaman 118, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra Semarang Indonesia.
2.                  ^ Ahkamu Ahlidz-Dzimmah I : 723-724.
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar