Kamis, 05 Desember 2013

Makalah Diskusi Ilmiah





بسم الله الرحمن الرحيم
 





Keputihan Menurut Perspektif Medis dan Fiqih
 





Ma’had ‘Aly HIDAYATURRAHMAN
Pilang-Masaran-Sragen-Jawa Tengah





Munadhoroh Ilmiah.  Ahad, 17 November 2013 M 







PENDAHULUAN
Keputihan sudah tidak asing lagi bagi kita. Namun kebanyakan wanita tidak mengetahui apa itu keputihan, baik secara medis maupun fikih. Dan banyak dikalangan kita yang belum bisa membedakan antara keputihan, mani, madzi, dan wadi. Padahal hal itu bisa berakibat fatal, karena hal-hal tersebut berbeda hukumnya ada yang najis dan ada pula yang tidak najis.
Untuk hukum mani, madzi dan wadzi sudah kita dapati di dalam nash-nash yang shorih. Sedangkan untuk keputihan masih ada perselisihan para ulama’, karena tidak ada nash shorih yang menjelaskan hal tersebut. sehingga dibutuhkan kajian lebih medalam.
Maka dari itu pada kali ini kami mencoba untuk mengkaji tentang keputihan dipandang dari segi medis dan fiqih, juga kami sisipkan perbedaan antara keputihan dan beberapa cairan yang keluar dari kemaluan wanita.
PEMBAHASAN
      I.            Keputihan secara medis
A.     Pengertian keputihan secara medis
Keputihan atau dalam istilah medisnya disebut Fluor Albus (Flour=cairan kental, Albus=putih), secara umum adalah keluarnya cairan kental dari vagina yang bisa saja terasa gatal, rasa panas, atau perih, kadang berbau atau malah tidak terasa apa-apa. Kondisi ini terjadi karena terganggunya keseimbangan keadaan normal dalam vagina dengan berbagai sebab.[1]
Dalam istilah medis, keputihan bukanlah suatu jenis penyakit, namun sejatinya keputihan adalah suatu gejala terjadinya peradangan pada organ genital wanita.
B.     Macam-macam keputihan secara medis
Keputihan terbagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat fisiologis dan Patologis.
1.      Keputihan Fisiologis (Normal)
Jenis keputihan ini biasanya sering terjadi sesudah dan sebelum menstruasi, itu adalah hal normal, dan biasanya tidak menyebabkan rasa gatal serta tidak berbau. Keputihan fisiologis pada wanita hamil tidak berpengaruh terhadap janin secara langsung, karena adanya selaput ketuban yang dapat melindungi janin.[2]
Keputihan yang bukan merupakan penyakit (fisiologis) dapat saja terjadi pada setiap wanita. Terkadang  juga kita yang remaja mengalami keputihan sesaat sebelum masa pubertas, biasanya gejala ini akan hilang dengan sendirinya.
Keputihan fisiologis atau juga banyak disebut keputihan normal memiliki ciri-ciri:
  • Cairan keputihannya encer
  • Cairan yang keluar berwarna krem atau bening
  • Cairan yang keluar tidak berbau
  • Tidak menyebabkan gatal
  • Jumlah cairan yang keluar terbilang sedikit.[3]
2.      Keputihan Patologis (Tidak Normal)
Keputihan jenis patologis disebut juga sebagai keputihan tidak normal. Jenis keputihan ini sudah termasuk ke dalam jenis penyakit. Keputihan patologis dapat menyebabkan berbagai efek dan hal ini akan sangat mengganggu bagi kesehatan wanita pada umumnya dan khususnya kesehatan daerah kewanitaan.
Beberapa penyebab keputihan yang tidak normal disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar. Yang sering menimbulkan keputihan ini antara lain bakteri, virus, jamur atau juga parasit. Jika tidak segera ditangani infeksi ini dapat menjalar dan menimbulkan peradangan ke saluran kencing, sehingga menimbulkan rasa pedih saat si penderita buang air kecil.
Keputihan patologis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Cairannya bersifat kental
  • Cairan yang keluar memiliki warna putih seperti susu, atau berwarna kuning
  • Keputihan patologis menyebabkan rasa gatal
  • Cairan yang keluar memiliki bau yang tidak sedap
  • Biasanya menyisakan bercak-bercak yang telihat pada celana dalam wanita
  • Jumlah cairan yang keluar sangat banyak.[4]
C.     Penyebab Keputihan Secara Medis
1.      Faktor kebersihan yang kurang baik.
Kebersihan di daerah vagina haruslah terjaga dengan baik. Jika, daerah vagina tidak dijaga kebersihannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit salah satunya keputihan. Hal ini menyebabkan kelembaban vagina mengalami peningkatan dan hal ini membuat penyebab infeksi berupa bakteri patogen akan sangat mudah untuk menyebarnya.
2.      Stress.
Semua organ tubuh kinerjanya di pengaruhi dan dikontrol oleh otak, maka ketika saraf otak mengalami kondisi stress hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan keseimbangan hormon -hormon dalam tubuh dan hal ini dapat menimbulkan terjadinya keputihan.
3.      Penggunaan obat-obatan.
Penggunaan obat antibitik dalam jangka lama bisa menyebabkan sistem imunitas pada tubuh wanita, dan obat antibiotik biasanya dapat menimbulkan keputihan. Sedangkan gangguan keseimbangan hormonal dapat juga disebabkan oleh penggunaan KB.
4.      Keputihan yang disebabkan oleh jamur, parasit, bakteri dan virus
Jamur Monilia atau Candidas. Berbau tidak sedap dan menimbulkan rasa gatal pada sekitar daerah vagina. Hal ini dapat menyebabkan vagina mengalami radang dan kemerahan. Biasanya hal ini juga dipicu oleh adanya penyakit kencing manis, penggunaan pil KB, serta tubuh yang memiliki daya tahan rendah.[5]

   II.            Keputihan Secara Fiqih
A.     Perbedaan Antara Keputihan Dengan Mani,  Madzi dan Wadi
1.      Keputihan
Keputihan adalah cairan putih yang keluar dari rahim, tanpa ada mukadimah syahwat sedikitpun, bahkan terkadang  wanita tidak merasakan keluarnya cairan tersebut.[6]
Sedangkan hukum keputihan akan dibahas secara rinci di pembahasan berikutnya, insyaAllah.
2.      Mani
Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, dengan diiringi dengan rasa nikmat  dan syahwat.  Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (jima’) ataupun dalam keadaan tidak sadar (ihtilam).[7]
Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus mandi besar/mandi junub[8]. Hukum air mani adalah suci dan tidak najis (berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun, apabila air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. [9]
Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, Beliau berkata, “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah dengan kuku saya.”(HR. Muslim)
Mani seorang wanita berbeda dengan mani laki-laki. Mani wanita berwarna kuning dan encer, sedangkan mani laki-laki berwarna putih dan kental.[10] Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW,
أَنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ، وَأَنَّ مَاءَ المَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani laki-laki itu kental putih, sedangkan mani wanita agak encer berwarna kuning.” (HR. Muslim)
3.      Wadi
Wadi adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing atau mungkin setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan[11].
Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci. [12]
4.      Madzi
Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (Muqodimah Jima’). Air madzi keluar dengan tidak memancar.
Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa).[13]
Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi, hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.[14]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Keluarnya air madzi  membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari dan Muslim)[15]

B.     Hukum Keputihan
Keputihan dalam bahasa Arab disebut sebagai ruthubah. Ada bebarapa penjelasan ulama tentang hukum ruthubah ini.
Syaikh Muhammad Al Utsaimin misalnya, menjelaskan dalam “Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah” bahwa banyak ulama yang menggolongkannya sebagai najis secara mutlak. Alasannya, setiap yang keluar dari dua jalan (kelamin dan dubur) adalah najis, kecuali sperma. Seperti diketahui, sperma tidak termasuk najis.  Dengan sendirinya, keputihan ini termasuk najis. Ini pendapat pertama.[16]
Akan tetapi, Syaikh Muhammad Al Utsaimin berpendapat bahwa semua cairan yang keluar dari rahim, maka ia suci, tetapi membatalkan wudhu. Karena sesuatu yang membatalkan wudhu tidak disyaratkan najis, seperti angin yang keluar dari dubur dan ia tidak berupa dzat yang nyata, tetapi ia membatalkan wudhu. Atas dasar ini, jika ia keluar dari perempuan yang dalam  keadaan  wudhu, maka hal itu membatalkan wudhu dan dia wajib memperbaharui wudhu.[17]
Adapun bagi wanita yang selalu keluar cairan keputihan ini, bahkan ketika shalat sekalipun, maka hukumnya tidak merusak wudhu dan shalatnya tetap sah. Artinya, jika wanita tersebut sudah berwudhu dan shalat, lalu keluar cairan keputihan dalam keadaan shalat, maka shalatnya tetap sah, baik sholat wajib atau sholat sunnah. Alasan beliau adalah menyamakan kedudukannya dengan orang yang menderita penyakit beser (selalu keluar cairan kencing dari kelaminnya tanpa ia sadari). Kondisi seperti ini tidak membatalkan sholat.[18]
Adapun jika keluarnya terputus-putus, dan kebiasaan keluar pada waktu-waktu shalat, maka dia mengakhirkan shalat sampai waktu dimana cairan itu berhenti, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat, maka dia berwudhu dan membalut kemaluan kemudian shalat.[19]
Sedangkan tentang keyakinan sebagian wanita yang menyatakan bahwa keputihan itu suci dan tidak membatalkan wudhu, maka pendapat itu merujuk pada pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa keputihan itu tidak membatalkan wudhu, baik keluarnya banyak atau sedikit, baik keluar secara terus menerus atau terputus-putus.[20]
Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” menyebutkan bahwa keputihan dalam bahasa fiqih termasuk kategori Wadi, yaitu cairan kental berwarna putih, biasanya keluar setelah kencing. Para ulama sepakat bahwa keputihan adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu'anha: "Sesungguhnya keputihan itu (al Wadii) yang keluar setelah kencing, maka cucilah kemaluannya, berwudhu dan tidak perlu mandi." (HR. Ibnu Al Mundzir)[21]
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma: "Mani, Wadi dan Madzi. Jika (keluar) Mani, maka mandilah. Adapun bila (keluar) Madzi atau Wadi, maka cukup dengan berwudhu." (HR. Al Atsram dan Imam baihaqi)[22]
Dari hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mengeluarkan mani saat hendak melaksanakan shalat harus mandi janabah. Adapun seseorang yang keluar Madzi atau Wadi, maka cukup dengan berwudhu dan tidak perlu mandi janabah.
Menurut Imam Syafi'i, semua yang keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur) maka hukumnya najis, kecuali mani. jadi bila sesuatu itu keluar dari dalam vagina, maka ia najis. Seperti, darah haidh, nifas, istihadhah, air kencing dan keputihan.[23]
Menurut madzhab Hanafiyah dan Hanabilah bahwa keputihan suci secara mutlak, keluarnya keputihan tidak membatalkan wudhu dan tidak membatalkan sholat.[24]
Pendapat yang lebih kuat dikemukakan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawy dalam kitab  Jami’ Ahkam An Nisa’. Beliau berpendapat, cairan keputihan tersebut tidak termasuk najis[25]. Alasannya,
1.      Tidak ditemukannya dalil qoth’i dan shorih yang menerangkan najisnya cairan tersebut.
2.      Keterangan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan (dubur dan kelamin) adalah najis hanyalah kesimpulan para ulama. Tak ada keterangan dari Al-Qur’an dan Sunnah yang tegas menyebutkan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan itu najis.
3.      Cairan jenis tersebut keluar dari saluran rahim dan bukan keluar dari saluran kencing yang sifatnya najis.
4.      Menganalogikan keputihan dengan darah istihadhah. Darah istihadhah hukumnya tidak membatalkan shalat. Jika darah istihadhah saja yang juga merupakan penyakit tidak membatalkan shalat, demikian pula halnya dengan cairan keputihan.[26]
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendapat terakhir inilah yang insyaAllah paling kuat. Karena tidak adanya dalil  shorih yang menyebutkan keputihan itu najis dan membatalkan wudhu, padahal pada masa Rosulullah keputihan sudah pasti ada. Adapun jika ingin mengulang wudhu setelah keluar cairan tersebut, atau membersihkannya sebelum wudhu dengan maksud berhati-hati ( ihtiyath ) maka hal itu tidak mengapa dilakukan. Wal‘ilmu ‘Indallah.

REFERENSI:
1.      Tamamul Minnah, Abu Abdurrahman ‘Adil bin Yusuf Al-‘azzazi, Darul Aqidah, juz 1, Cetakan II, 1430 M/2009 M
2.      Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami, Dr. Wahbah Az Zuhaili, Maktabah Al Asad, juz 1, Cetakan I, 1426 H/2005 M
3.      At Tamhid Lima Fii Al Muwatho’ minal Ma’ani Wal Asanid, Abu Umar Yusuf bin Abdullah Al Qurthubi, Muassasah Al Qurthubah
4.      Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah Daimah Lil Ifta’, Darul Haq, juz 1, Cetakan V, 1428H/2007 M
5.      Fiqih Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, Darul Fikri, juz 1, Cetakan IV, 1403H/1983 M
6.      Al Fiqhu Al Islami Wa Adilatuhu, Dr. Wahbah Az Zuhaili, Darul fikri, juz 1, Cetakan X, 1428 H/2007 M
7.      Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Wazarah Al Auqof Wa Syu’unil Islamiyah, Darus Shofwah, juz 32, Cetakan I, 1427 H/2006 M
8.      Jami’ Ahkam An Nisa’, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, Darul Ibnu ‘Affan, juz I, Cetakan I, 1429 H/2008 M


[1]. http://artikelduniawanita.com/pengertian-keputihan.html
[2].http://artikelduniawanita.com/pengertian-keputihan.html
[3]. http://loliwomen.blogspot.com/2013/08/tanda-keputihan-yang-normaldantidaknormal.html
[4]. http://loliwomen.blogspot.com/2013/08/tanda-keputihan-yang-normaldantidaknormal.html
[5].Ibid
[7] Tamamul Minnah juz1, Abu Abdurrahman Al-‘azzazi, hal 36
[8] Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami, Dr. Wahbah Az Zuhaili, hal: 87
[9] Ibid
[10] At Tamhid Lima Fii Al Muwatho’ minal Ma’ani Wal Asanid, Abu Umar Yusuf bin Abdullah Al Qurthubi
[11] Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami, Dr. Wahbah Az Zuhaili, hal: 87
[12] Tamamul Minnah juz1, Abu Abdurrahman Al-‘azzazi, hal 37
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid, hal: 35
[16] Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah Daimah Lil Ifta’, hal: 106
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah Daimah Lil Ifta’, hal: 107
[21] Fiqih Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, hal: 24
[22] Ibid
[23]Al Fiqhu Al Islami Wa Adilatuhu, Dr. Wahbah Az Zuhaili, juz: 1, hal: 439
[24]Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Kementrian Wakaf dan Syu’unil Islamiyah, hal: 85
[25] Jami’ Ahkam An Nisa’, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal: 52
[26] Ibid, hal: 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar