بسم
الله الرحمن الرحيم
Keputihan Menurut Perspektif Medis dan Fiqih
Ma’had ‘Aly HIDAYATURRAHMAN
Pilang-Masaran-Sragen-Jawa Tengah
Munadhoroh Ilmiah.
Ahad,
17 November 2013 M
PENDAHULUAN
Keputihan sudah tidak asing lagi bagi kita. Namun kebanyakan wanita
tidak mengetahui apa itu keputihan, baik secara medis maupun fikih. Dan banyak
dikalangan kita yang belum bisa membedakan antara keputihan, mani, madzi, dan
wadi. Padahal hal itu bisa berakibat fatal, karena hal-hal tersebut berbeda
hukumnya ada yang najis dan ada pula yang tidak najis.
Untuk hukum mani, madzi dan wadzi sudah kita dapati di dalam
nash-nash yang shorih. Sedangkan untuk keputihan masih ada perselisihan para
ulama’, karena tidak ada nash shorih yang menjelaskan hal tersebut. sehingga
dibutuhkan kajian lebih medalam.
Maka dari itu pada kali ini kami mencoba untuk mengkaji tentang
keputihan dipandang dari segi medis dan fiqih, juga kami sisipkan perbedaan
antara keputihan dan beberapa cairan yang keluar dari kemaluan wanita.
PEMBAHASAN
I.
Keputihan secara medis
A.
Pengertian
keputihan secara medis
Keputihan atau dalam istilah medisnya disebut Fluor Albus
(Flour=cairan kental, Albus=putih), secara umum adalah keluarnya cairan kental
dari vagina yang bisa saja terasa gatal, rasa panas, atau perih, kadang berbau
atau malah tidak terasa apa-apa. Kondisi ini terjadi karena terganggunya
keseimbangan keadaan normal dalam vagina dengan berbagai sebab.[1]
Dalam istilah medis, keputihan
bukanlah suatu jenis penyakit, namun sejatinya keputihan adalah suatu gejala
terjadinya peradangan pada organ genital wanita.
B.
Macam-macam
keputihan secara medis
Keputihan
terbagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat fisiologis dan Patologis.
1.
Keputihan
Fisiologis (Normal)
Jenis keputihan ini biasanya sering terjadi
sesudah dan sebelum menstruasi, itu adalah hal normal, dan biasanya tidak
menyebabkan rasa gatal serta tidak berbau. Keputihan fisiologis pada wanita
hamil tidak berpengaruh terhadap janin secara langsung, karena adanya selaput
ketuban yang dapat melindungi janin.[2]
Keputihan yang bukan merupakan
penyakit (fisiologis) dapat saja terjadi pada setiap wanita. Terkadang juga kita yang remaja mengalami keputihan
sesaat sebelum masa pubertas, biasanya gejala ini akan hilang dengan sendirinya.
Keputihan fisiologis atau juga banyak disebut
keputihan normal memiliki ciri-ciri:
- Cairan keputihannya encer
- Cairan yang keluar berwarna krem atau bening
- Cairan yang keluar tidak berbau
- Tidak menyebabkan gatal
- Jumlah cairan yang keluar terbilang sedikit.[3]
2.
Keputihan
Patologis (Tidak Normal)
Keputihan jenis patologis disebut
juga sebagai keputihan tidak normal. Jenis keputihan ini sudah termasuk ke
dalam jenis penyakit. Keputihan patologis dapat menyebabkan berbagai efek dan
hal ini akan sangat mengganggu bagi kesehatan wanita pada umumnya dan khususnya
kesehatan daerah kewanitaan.
Beberapa penyebab keputihan yang
tidak normal disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di
dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar. Yang sering menimbulkan
keputihan ini antara lain bakteri, virus, jamur atau juga parasit. Jika tidak
segera ditangani infeksi ini dapat menjalar dan menimbulkan peradangan ke
saluran kencing, sehingga menimbulkan rasa pedih saat si penderita buang air
kecil.
Keputihan patologis memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
- Cairannya bersifat kental
- Cairan yang keluar memiliki warna putih seperti susu, atau berwarna kuning
- Keputihan patologis menyebabkan rasa gatal
- Cairan yang keluar memiliki bau yang tidak sedap
- Biasanya menyisakan bercak-bercak yang telihat pada celana dalam wanita
- Jumlah cairan yang keluar sangat banyak.[4]
C.
Penyebab
Keputihan Secara Medis
1. Faktor kebersihan yang kurang baik.
Kebersihan di daerah vagina haruslah terjaga
dengan baik. Jika, daerah vagina tidak dijaga kebersihannya akan menimbulkan
berbagai macam penyakit salah satunya keputihan. Hal ini menyebabkan kelembaban
vagina mengalami peningkatan dan hal ini membuat penyebab infeksi berupa
bakteri patogen akan sangat mudah untuk menyebarnya.
2. Stress.
Semua organ tubuh kinerjanya di pengaruhi dan
dikontrol oleh otak, maka ketika saraf otak mengalami kondisi stress hal ini
dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan keseimbangan hormon -hormon dalam
tubuh dan hal ini dapat menimbulkan terjadinya keputihan.
3. Penggunaan obat-obatan.
Penggunaan obat antibitik dalam jangka lama
bisa menyebabkan sistem imunitas pada tubuh wanita, dan obat antibiotik
biasanya dapat menimbulkan keputihan. Sedangkan gangguan keseimbangan hormonal
dapat juga disebabkan oleh penggunaan KB.
4. Keputihan yang disebabkan oleh
jamur, parasit, bakteri dan virus
Jamur Monilia atau Candidas. Berbau tidak sedap
dan menimbulkan rasa gatal pada sekitar daerah vagina. Hal ini dapat
menyebabkan vagina mengalami radang dan kemerahan. Biasanya hal ini juga dipicu
oleh adanya penyakit kencing manis, penggunaan pil KB, serta tubuh yang
memiliki daya tahan rendah.[5]
II.
Keputihan
Secara Fiqih
A.
Perbedaan Antara Keputihan Dengan Mani, Madzi dan Wadi
1. Keputihan
Keputihan adalah cairan putih yang keluar dari
rahim, tanpa ada mukadimah syahwat sedikitpun, bahkan terkadang wanita tidak merasakan keluarnya cairan
tersebut.[6]
Sedangkan hukum keputihan akan dibahas secara
rinci di pembahasan berikutnya, insyaAllah.
2. Mani
Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar
memancar dari kemaluan, dengan diiringi dengan rasa nikmat dan syahwat.
Mani dapat keluar dalam keadaan sadar (jima’) ataupun dalam keadaan
tidak sadar (ihtilam).[7]
Keluarnya mani menyebabkan seseorang harus
mandi besar/mandi junub[8].
Hukum air mani adalah suci dan tidak najis (berdasarkan pendapat yang terkuat).
Apabila pakaian seseorang terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci
pakaian tersebut jika air maninya masih dalam keadaan basah. Adapun, apabila
air mani telah mengering, maka cukup dengan mengeriknya saja. [9]
Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, Beliau
berkata, “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada
pakaian Rasulullah dengan kuku saya.”(HR. Muslim)
Mani seorang wanita berbeda dengan mani laki-laki.
Mani wanita berwarna kuning dan encer, sedangkan mani laki-laki berwarna putih
dan kental.[10]
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW,
أَنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ،
وَأَنَّ مَاءَ المَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani laki-laki itu kental putih, sedangkan
mani wanita agak encer berwarna kuning.” (HR. Muslim)
3. Wadi
Wadi adalah cairan putih kental yang keluar
dari kemaluan seseorang setelah kencing atau mungkin setelah melakukan
pekerjaan yang melelahkan[11].
Keluarnya air wadi dapat membatalkan wudhu. Wadi
termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan,
kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi terkena badan, maka cara
membersihkannya adalah dengan dicuci. [12]
4. Madzi
Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan,
air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul
ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima’ (hubungan seksual) atau
ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (Muqodimah Jima’). Air madzi keluar
dengan tidak memancar.
Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang
menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan
tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa).[13]
Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan
wanita, meskipun pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air
wadi, hukum air madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka
wajib mencuci tubuh yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena
pakaian, maka cukup dengan memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air
madzi tersebut.[14]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW terhadap
seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “Cukup bagimu dengan mengambil
segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi
tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Keluarnya air madzi membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar
dari kemaluan seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila
hendak sholat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Cucilah kemaluannya,
kemudian berwudhulah.” (HR. Bukhari dan Muslim)[15]
B.
Hukum Keputihan
Keputihan dalam
bahasa Arab disebut sebagai ruthubah. Ada bebarapa penjelasan ulama tentang
hukum ruthubah ini.
Syaikh Muhammad
Al Utsaimin misalnya, menjelaskan dalam “Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah” bahwa
banyak ulama yang menggolongkannya sebagai najis secara mutlak. Alasannya, setiap
yang keluar dari dua jalan (kelamin dan dubur) adalah najis, kecuali sperma.
Seperti diketahui, sperma tidak termasuk najis. Dengan sendirinya, keputihan ini termasuk najis.
Ini pendapat pertama.[16]
Akan tetapi,
Syaikh Muhammad Al Utsaimin berpendapat bahwa semua cairan yang keluar dari rahim,
maka ia suci, tetapi membatalkan wudhu. Karena sesuatu yang membatalkan wudhu
tidak disyaratkan najis, seperti angin yang keluar dari dubur dan ia tidak
berupa dzat yang nyata, tetapi ia membatalkan wudhu. Atas dasar ini, jika ia
keluar dari perempuan yang dalam
keadaan wudhu, maka hal itu
membatalkan wudhu dan dia wajib memperbaharui wudhu.[17]
Adapun bagi wanita
yang selalu keluar cairan keputihan ini, bahkan ketika shalat sekalipun, maka
hukumnya tidak merusak wudhu dan shalatnya tetap sah. Artinya, jika wanita
tersebut sudah berwudhu dan shalat, lalu keluar cairan keputihan dalam keadaan
shalat, maka shalatnya tetap sah, baik sholat wajib atau sholat sunnah. Alasan
beliau adalah menyamakan kedudukannya dengan orang yang menderita penyakit
beser (selalu keluar cairan kencing dari kelaminnya tanpa ia sadari). Kondisi
seperti ini tidak membatalkan sholat.[18]
Adapun jika
keluarnya terputus-putus, dan kebiasaan keluar pada waktu-waktu shalat, maka
dia mengakhirkan shalat sampai waktu dimana cairan itu berhenti, selama tidak
dikhawatirkan habisnya waktu shalat, maka dia berwudhu dan membalut kemaluan kemudian
shalat.[19]
Sedangkan
tentang keyakinan sebagian wanita yang menyatakan bahwa keputihan itu suci dan
tidak membatalkan wudhu, maka pendapat itu merujuk pada pendapat Ibnu Hazm yang
menyatakan bahwa keputihan itu tidak membatalkan wudhu, baik keluarnya banyak
atau sedikit, baik keluar secara terus menerus atau terputus-putus.[20]
Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqih
Sunnah” menyebutkan bahwa keputihan dalam bahasa fiqih termasuk kategori
Wadi, yaitu cairan kental berwarna putih, biasanya keluar setelah kencing. Para
ulama sepakat bahwa keputihan adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari
Aisyah Radhiyallahu'anha: "Sesungguhnya keputihan itu (al Wadii) yang
keluar setelah kencing, maka cucilah kemaluannya, berwudhu dan tidak perlu
mandi." (HR. Ibnu Al Mundzir)[21]
Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu'anhuma: "Mani, Wadi dan Madzi. Jika (keluar) Mani, maka
mandilah. Adapun bila (keluar) Madzi atau Wadi, maka cukup dengan
berwudhu." (HR. Al Atsram dan Imam baihaqi)[22]
Dari hadits di atas menjelaskan
bahwa seseorang yang mengeluarkan mani saat hendak melaksanakan shalat harus mandi
janabah. Adapun seseorang yang keluar Madzi atau Wadi, maka cukup dengan
berwudhu dan tidak perlu mandi janabah.
Menurut Imam Syafi'i, semua yang
keluar dari dua jalan ( qubul dan dubur) maka hukumnya najis, kecuali mani. jadi
bila sesuatu itu keluar dari dalam vagina, maka ia najis. Seperti, darah haidh,
nifas, istihadhah, air kencing dan keputihan.[23]
Menurut madzhab Hanafiyah dan
Hanabilah bahwa keputihan suci secara mutlak, keluarnya keputihan tidak
membatalkan wudhu dan tidak membatalkan sholat.[24]
Pendapat yang
lebih kuat dikemukakan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawy dalam kitab Jami’ Ahkam An Nisa’. Beliau
berpendapat, cairan keputihan tersebut tidak termasuk najis[25].
Alasannya,
1.
Tidak ditemukannya
dalil qoth’i dan shorih yang menerangkan najisnya cairan tersebut.
2.
Keterangan bahwa
setiap yang keluar dari dua jalan (dubur dan kelamin) adalah najis hanyalah
kesimpulan para ulama. Tak ada keterangan dari Al-Qur’an dan Sunnah yang tegas
menyebutkan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan itu najis.
3.
Cairan jenis
tersebut keluar dari saluran rahim dan bukan keluar dari saluran kencing yang
sifatnya najis.
4.
Menganalogikan
keputihan dengan darah istihadhah. Darah istihadhah hukumnya tidak membatalkan
shalat. Jika darah istihadhah saja yang juga merupakan penyakit tidak
membatalkan shalat, demikian pula halnya dengan cairan keputihan.[26]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendapat
terakhir inilah yang insyaAllah paling kuat. Karena tidak adanya dalil shorih yang menyebutkan keputihan itu najis
dan membatalkan wudhu, padahal pada masa Rosulullah keputihan sudah pasti ada. Adapun
jika ingin mengulang wudhu setelah keluar cairan tersebut, atau membersihkannya
sebelum wudhu dengan maksud berhati-hati ( ihtiyath ) maka hal itu tidak
mengapa dilakukan. Wal‘ilmu ‘Indallah.
REFERENSI:
1.
Tamamul Minnah, Abu Abdurrahman ‘Adil
bin Yusuf Al-‘azzazi, Darul Aqidah, juz 1, Cetakan II, 1430 M/2009 M
2.
Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami,
Dr. Wahbah Az Zuhaili, Maktabah Al Asad, juz 1, Cetakan I, 1426 H/2005 M
3.
At Tamhid Lima Fii Al Muwatho’
minal Ma’ani Wal Asanid, Abu Umar Yusuf bin Abdullah Al Qurthubi, Muassasah Al
Qurthubah
4.
Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah
Daimah Lil Ifta’, Darul Haq, juz 1, Cetakan V, 1428H/2007 M
5.
Fiqih Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq,
Darul Fikri, juz 1, Cetakan IV, 1403H/1983 M
6.
Al Fiqhu Al Islami Wa Adilatuhu,
Dr. Wahbah Az Zuhaili, Darul fikri, juz 1, Cetakan X, 1428 H/2007 M
7.
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, Wazarah Al Auqof Wa Syu’unil Islamiyah, Darus Shofwah, juz 32,
Cetakan I, 1427 H/2006 M
8.
Jami’ Ahkam An Nisa’, Syaikh
Musthafa Al ‘Adawi, Darul Ibnu ‘Affan, juz I, Cetakan I, 1429 H/2008 M
[1].
http://artikelduniawanita.com/pengertian-keputihan.html
[2].http://artikelduniawanita.com/pengertian-keputihan.html
[3].
http://loliwomen.blogspot.com/2013/08/tanda-keputihan-yang-normaldantidaknormal.html
[4].
http://loliwomen.blogspot.com/2013/08/tanda-keputihan-yang-normaldantidaknormal.html
[5].Ibid
[7] Tamamul Minnah juz1, Abu Abdurrahman
Al-‘azzazi, hal 36
[8]
Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami, Dr. Wahbah Az
Zuhaili, hal: 87
[9] Ibid
[10] At Tamhid Lima Fii Al Muwatho’ minal Ma’ani
Wal Asanid, Abu Umar Yusuf bin Abdullah Al Qurthubi
[11]
Al Wajiz Fii Al Fiqhi Al Islami, Dr. Wahbah Az
Zuhaili, hal: 87
[12] Tamamul Minnah juz1, Abu Abdurrahman
Al-‘azzazi, hal 37
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid, hal: 35
[16] Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah Daimah Lil
Ifta’, hal: 106
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Lajnah Daimah Lil
Ifta’, hal: 107
[21] Fiqih Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, hal: 24
[22] Ibid
[23]Al Fiqhu Al Islami Wa Adilatuhu, Dr. Wahbah Az
Zuhaili, juz: 1, hal: 439
[24]Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
Kementrian Wakaf dan Syu’unil Islamiyah, hal: 85
[25] Jami’ Ahkam An Nisa’, Syaikh Musthafa Al
‘Adawi, hal: 52
[26] Ibid, hal: 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar