بسم
الله الرحمن الر حيم
Hutang dan Saksi dalam Islam
Ditulis Guna:
Memenuhi Tugas Mid Semester IV
Dosen
Pengampu: Ust. Junaidi Manik, M.Pd.I
Oleh: Najwa Tsurayya
Ma’had ‘Aly Hidayaturrahman
Pilang- Masaran-Sragen-Jawa Tengah
2014
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial, jadi tidak
dipungkiri jika satu sama lain saling membutuhkan. Salah satu bentuk
tolong-menolong di antara manusia adalah pinjam-meminjam, atau yang biasa
disebut dengan hutang. Hutang sendiri tidak berlaku begitu saja, melainkan ada
aturan-aturan agama yang mengikatnya. Islam sangat memperhatikan aturan-aturan
di dalamnya, sehingga bolehnya berhutang bisa menjadi maslahat bagi kedua belah
pihak. Dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang hukum hutang dan saksi
atas hutang tersebut.
B.
Pengertian
Hutang dan Saksi
Hutang secara
etimologi berasal dari kata (الدين)
yang berarti pijaman yang tidak tunai ( kredit).[1]
Bisa juga dari kata ( القرض) yang
berarti apa-apa yang kamu serahkan
kepada orang lain dengan niatan akan di kembalikan kepadamu, atau sebuah
pekerjaan yang diharapkan darinya imbalan, atau pnjaman baik buruk atau baik.[2]
Pengertian
hutang secara istilah syar’i juga berasal dari kata ad-dain yang
bermakna setiap muamalah yang ada gantinya baik secara kontan maupun kredit.[3]
Pengertian
saksi adalah berasal dari kata (شهيد)
yang artinya orang yang melakukan syahadah (persaksian), sedangkan syahadah
mempunyai arti mengabarkan dengan apa yang terjadi, menetapkan dengan apa
yang diketahui, dan menetapkan apa yang dirasakan dengan indra.[4]
C.
Hukum
Berhutang
Hukum asal dari berhutang adalah
boleh. Allah Ta’ala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam
Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman!
Apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)
Di akhir hayat Rasulullah SAW,
beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi. kemudian beliau
menggadaikan baju besinya, untuk membayar hutang itu.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA,
bahwasanya dia berkata:
“Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari
no. 2200)
D.
Hal-Hal yang
Perlu Diperhatikan Ketika Berhutang
1.
Menulis hutang
Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman!
Apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)
Ayat di atas menunjukkan perintah
untuk menulis setiap muamalah yang tidak dibayar tunai, dengan jumlah yang
jelas dan waktu yang jelas, hal ini sebelumnya hukumnya wajib, kemudian dinasakh
(dihapus) dengan ayat di bawah ini sehingga hukumnya menjadi sebuah anjuran.
Ayat yang menasakh adalah:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya)” (QS Al-Baqarah: 283)[5]
Ayat di atas menunjukkan bahwa sekretaris
hutang tersebut harus orang yang adil yang tidak memihak kepada salah satu
pihak, dan tidak menulis kecuali apa-apa yang telah disepakati kedua belah
pihak tanpa ditambah atau dikurangi.
Tujuan
hutang itu ditulis adalah sebagai bukti atau pengingat ketika jatuh tempo
membayar, karena bisa jadi peminjam lupa, lalai, atau mendapat godaan dari
setan untuk mengingkari hutang tersebut.[6]
2. Menghadirkan
Saksi
Allah Ta’ala berfirman:
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS
Al-Baqarah: 282)
Ayat di atas adalah perintah untuk
menghadirkan saksi dalam hutang walaupun sudah ada bukti tertulis sebagai
penguat. Perintah awal adalah menghadirkan dua saksi laki-laki, namun jika tidak
ada dua orang laki-laki maka tidak mengapa menghadirkan saksi satu laki-laki
dan dua perempuan.[7]
Sesungguhnya dua wanita didudukkan
setara dengan satu laki-laki dalam hal harta atau beberapa hal dalam agama
karena kekurangan akal dan agamanya. Saksi dua orang wanita setara dengan satu
laki-laki adalah bntuk kekurangan akalnya, dan wanita memiliki hari-hari dimana
dia tidak shalat dan berpuasa Ramadhan adalah bentuk kekurangan agamanya.[8]
3.
Memberikan Jaminan
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS
Al-Baqarah: 283)
Ayat di atas menjelaskan tentang
hutang-piutang dalam safar dan tidak mendapati penulis maka hendaknya peminjam
memberikan barang jaminan kepada peminjam. Ibnu Abbas berkata bahwa walaupun
mereka mendapati sekretaris akan tetapi tidak mendapati alat tulis maka boleh
memakai barang jaminan.[9]
Tiga hal di atas adalah hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam masalah hutang-piutang, atau sebuah perintah yang hukumnya
tidak mencapai wajib jika syaratnya terpenuhi, Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya)” (QS Al-Baqarah: 283)
Mengenai
ayat di atas Asy-Sya’bi berkata, “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain maka tidak mengapa kalian tidak menulisnya atau menghadirkan saksi.”[10]
Jika
dalam muamalah tersebut terdapat saksi maka haram bagi saksi menutupi
persaksiannya, atau bersaksi dengan persaksian palsu, karena hal ini termasuk
dosa besar.
E.
Penutup
Berdasarkan
pemaparan penulis di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa dalam muamalah
atau hutang –piutang terdapat aturan-aturan yang mengikat, sehingga kedua belah
pihak bisa sama-sama mendapatkan manfaat dan terhindar dari bahaya.
Daftar
Pustaka:
Al-Arobi. Ibnu., Ahkam Al-Qur’an. (Libanon: Darul Kutub al-ilmiyah, 2008 M)
Al-Mubarokfuri, Shafiyurrahman. Mishbahul
Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir. (Riyadh :Darus Salam. 1420 H)
Muntashir,dkk, Abdul Halim. al-Mu’jam al-Wasith. (Kairo, 1392 H)
[1] Abdul Halim Muntashir, dkk al-Mu’jam
al-Wasith, (Kairo: 1392 H), hal. 330
[2] Ibid , hal. 761
[3] Ibnu Al-‘Arobi, Ahkam Al-Qur’an, (Libanon:
Darul Kutub al-ilmiyah, 2008), hal. 327
[4] Abdul Halim Muntashir, dkk al-Mu’jam
al-Wasith….., hal. 523
[5] Shafiyurrahman al-Mubarokfuri, Mishbahul
Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir, (Riyadh: Darus Salam, 1420 H), hal. 199
[6]
Ibnu Al-‘Arobi, Ahkam Al-Qur’an,…, hal.
228
[7]
Shafiyurrahman Al-Mubarokfuri, Mishbahul
Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir…, hal.
200
[8]
Ibid.,
[10]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar